Sebelumnya: Peta konglomerasi pasca 20 tahun reformasi (1): Cakar bisnis naga kian menancap Merintis Pra Krismon, Kini Memetik Hasil
Mengapa terjadi krisis ekonomi dua dasawarsa silam? “Konglomerasi tahun 1998 itu rata-rata konglomerasi tidak tahu diri. Karena mereka tidak memikirkan neraca,” ujar Dato’ Sri Tahir, Pendiri Mayapada Group ketika mengawali wawancara dengan KONTAN. Konglomerat di era sebelum 1998 hanya memikirkan bagaimana bisa pinjam uang sebanyak mungkin, dan sebesar mungkin untuk menjalankan usahanya.
Apapun mereka halalkan, yaitu utang dari berbagai lembaga keuangan dan perbankan dalam negeri, juga menumpuk utang dari luar negeri. Akibat polah mereka, perbankan dalam negeri pun kena getahnya. Likuiditas ketat, tak mampu hadapi krisis moneter yang terjadi saat itu. Setelah peristiwa itu, konglomerat baru tersadar bahwa bisnis itu tidak bisa dikembangkan tanpa batasan. Harus ada regulasinya. “Konglomerasi pun menjadi lebih pintar dan cerdik, regulasi dibuat, pengawasan pun berjalan,” kata Tahir. Pasca krisis moneter, satu per satu pengusaha yang sudah merintis bisnis sejak tahun 1980-an pun akhirnya bisa mencatatkan diri sebagai konglomerasi. Misalnya, konglomerasi Mayapada Group milik Tahir. Bisnis Tahir yang berawal dari Bank Mayapada tahun 1990 terus menggurita. Bisnis keuangannya makin berkembang di lini pembiayaan dan asuransi. Lantas banyak pengusaha masuk ke bisnis ritel khusus, kesehatan, properti, dan media. Lalu ada Group Emtek milik Eddy Kusnadi Sariatmadja. Tahun 1983 Eddy memulai bisnis penyediaan layanan komputer pribadi dengan bendera PT Elang Mahkota Teknologi (Emtek). Lantas bisnisnya berkembang menjadi kelompok usaha yang memiliki bisnis media, telekomunikasi dan solusi TI, serta konektivitas. Konglomerasi lain yang mulai berkibar tahun 2000-an adalah CT Corp. Group milik pengusaha Chairul Tanjung ini sudah dirintis sejak tahun 1980-an dengan bisnis industri pembuatan sepatu. Tahun 90-an, mereka masuk ke bisnis pembiayaan, lalu ke bisnis perbankan, hingga moncer di dunia media dan ritel. Lantas strategi apa yang akan mereka lakukan untuk terus menumbuhkan bisnisnya? Adakah bisnis baru atau sekadar menyirami bisnis lama? * Grup Mayapada Grup ini mengawali bisnis dari sektor perbankan yaitu Bank Mayapada, yang akhirnya berganti nama menjadi PT Bank Mayapada Internasional Tbk. Awalnya Bank Mayapada punya 10 cabang, kini sudah ada lebih dari 200 cabang yang tersebar di tanah air. “Namun sekarang, fokus kami bukan pada pemilihan lokasi cabang atau penambahan cabang, tapi pada pengembangan teknologi informasinya yang harus mengikuti zaman,” ujar Tahir. Sebab, menurut Tahir, ia melihat transaksi perbankan tidak harus melalui kantor tapi bisa melalui jaringan internet. Bisnis bank ini menjadi tiang penyangga Mayapada Group. Modal yang dimiliki Bank Mayapada saat ini mencapai Rp 10 triliun. Sehingga tahun lalu naik peringkat menjadi bank dengan kategori Buku III. Di sektor kesehatan, Mayapada fokus pada pembangunan rumah sakit berskala besar berfasilitas lengkap. Grup ini tidak menggarap rumah sakit kecil. Sebab, Tahir ingin punya rumah sakit yang one stop healing. “Makanya rumah sakit kami yang ada di Lebak Bulus kami tambah towernya,” katanya. Saat ini, Mayapada baru punya dua rumah sakit yaitu di Jakarta dan Tangerang. Dalam pembangunan rumah sakit, fokus Mayapada memang pada rumah sakit besar. Ke depan perusahaan ini tetap melakukan pengembangan bisnis kesehatan dengan melakukan merger. Mayapada sempat ingin meminang PT Bogor Medical Center (BMC). Sedangkan dari bisnis media, belum lama ini, Mayapada membeli ELLE Indonesia, media yang fokus membahas tentang mode dan gaya hidup. Di lini ini, Mayapada memang lebih sering menggunakan strategi non organik. Mayapada mengawali bisnis media dengan menjadi mitra lokal Majalah Forbes. Lalu berinvestasi di harian berbahasa China yang terbit di Indonesia, Guo Ji Ri Bao. Tahun 2012 mengakuisisi Topas TV, yaitu TV berbayar nasional. Supaya bisnis bisa tetap tumbuh, baik cara organik maupun non organik Tahir memperhatikan risiko, memiliki tim yang baik, dan laporan keuangan yang memenuhi standar rasio. “Saya tidak mau tim saya terjebak di zona nyaman. Saya ini seorang
fighter yang selalu cari terobosan terbaru. Karena itu saya mengundang JPMCB-Cathay Life Insurance Co.Ld untuk masuk ke Bank Mayapada,” kata Tahir. Tahun lalu, JPMCB-Cathay Life Insurance Co.Ld resmi menggenggam 40% saham Bank Mayapada. Tahir juga menjajal bisnis lain yakni tambang. “Saya ambil tambang batubara milik Gita Wirjawan, beberapa bulan lalu,” katanya. Meski tidak besar, tambang itu sudah mulai menghasilkan profit. Dana yang digelontorkan sekitar US$ 50 juta –US$ 60 juta. * Grup Emtek Grup ini mengawali bisnis di usaha penyediaan peralatan komputer kemudian berkembang menjadi perusahaan teknologi pada 1997. Namun Grup Emtek baru berkibar ketika tahun 2002 mengambil alih kepemilikan PT Surya Citra Televisi (SCTV), melalui PT Surya Citra Media Tbk. Pada 2010, Emtek mencatatkan saham perdana atawa initial public offering (IPO) di bursa efek. Aksi pertama setelah IPO adalah mengakuisisi PT Indosiar Karya Visual Mandiri (Indosiar) tahun 2011. Dengan akuisisi ini, Emtek menjadi punya posisi tawar yang lebih tinggi. Di tahun yang sama, Emtek meluncurkan televisi digital berbayar bernama NexMedia. Anak usaha di bidang rumah produksi yang bernama PT Screenplay Produksi pun mulai beroperasi di tahun yang sama. Berkah IPO, bisnis Emtek makin mekar. Emtek masuk ke bisnis digital dengan mengoperasikan PT Kreatif Media Karya. Di unit ini Emtek mengembangkan portal berita online. Tak cukup masuk ke bisnis media, Emtek juga merangsek ke bisnis kesehatan di tahun 2013 melalui anak usaha, PT Elang Medika Corpora. Bersama dua rekan bisnis lainnya, Elang Media mengambil alih Rumah Sakit Usada Insani di Tangerang. Lalu Emtek berinvestasi Rumah Sakit Pertamedika Sentul pada 2014. Geliat industri rintisan tak luput dari bidikan grup ini. Pada 2014, Emtek mencelupkan investasinya di Bukalapak.com, Rumah.com, dan Home Tester Club. Emtek terus memperkuat divisi online-nya, dengan melakukan investasi pada startup dan portal terkemuka, baik langsung maupun melalui anak usahanya. Antara lain di bobobobo.com, PropertyGuru Pte., Ltd., Bridestory Pte., Ltd., Hijup.com, juga Kudo. Direktur Independen Emtek Titi Maria Rusli mengatakan Emtek bisa menjadi perusahaan konglomerasi seperti sekarang karena founder dan manajemen Emtek, selalu melihat aspek perkembangan dunia usaha. Selain itu, juga melakukan langkah antisipasi dengan baik sekaligus melakukan berbagai kegiatan strategis yang visioner yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan Emtek hingga saat ini. “Dalam hal pertumbuhan bisnis, manajemen mengupayakan keseimbangan antara langkah organik dan non organik,” kata Titi Maria. * CT Grup Ketika bisnis ritel tiarap, CT Corp melalui anak usahanya, PT Trans Ritel Indonesia justru menggeber pembukaan 22 gerai di berbagai daerah di tahun lalu. Melalui bendera Transmart, CT Corp melakukan strategi baru dalam bisnis ritel yaitu menggabungkan sarana berbelanja, bersantap, bermain, dan menonton dalam satu atap. Strategi ini disebut sebagai transformasi bisnis ritel modern. Tahun ini, CT Corp menargetkan pembukaan gerai Transmart minimal sama dengan tahun ini. Tahun ini, Transmart Pontianak dan Kupang sudah beroperasi. Selanjutnya Banjarmasin, Jambi, Tasikmalaya, Jember, dan Cilegon. Selain itu dari bisnis properti, CT Corp juga tengah tancap gas. Mereka tengah mengembangkan empat kawasan terpadu atawa mixed use dengan total investasi senilai Rp 10 triliun. Grup ini akan mengupayakan dana melalui kas internal, pinjaman luar negeri, dan kerjasama dari investor. Mixed use itu terdiri dari hunian, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan wahana permainan. Adapun empat kawasan mixed use yang mereka kembangkan adalah Trans Park Cibubur dengan investasi senilai Rp 3 triliun, Trans Park Juanda Bekasi dengan investasi Rp 3 triliun, Trans Icon Surabaya dengan investasi Rp 2 triliun, dan Trans Park Bintaro dengan investasi Rp 2 triliun. Untuk proyek di Bintaro, CT Corp sudah mendapatkan kerjasama dengan dua investor dari Singapura. Mulai tahun ini, CT Corp akan menggarap proyek mixed use di BSD City dengan luas 20 hektare. “Ini adalah proyek super dan kami bawa konsep Las Vegas tanpa judi,” ujar Chairal Tanjung, Chief Executive Officer (CEO) Trans Property. Bisnis ritel dan properti CT ini terhitung bisnis baru. Sebelum kondang sebagai pengusaha ritel, CT lebih dikenal dengan media televisi yang dimilikinya, Trans TV.
Trans TV hadir tahun 2005, lalu tahun 2006, CT menguasai TV 7 dan diubah menjadi Trans 7. Nama CT makin bergaung saat mencaplok PT Carrefour Indonesia dan mengganti nama jadi Transmart. Sebelumnya, CT juga membuat gebrakan dengan membuat wahana bermain dalam ruangan pertama di Indonesia dengan brand Trans Studio. ◆
Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 21 - 27 Mei 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Merintis Pra Krismon, Kini Memetik Hasil" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga