Petak Puti model percontohan desa REDD+



PALANGKARAYA. Indonesia memiliki setengah dari luas lahan gambut tropis dunia. Lebih dari 3,5 juta hektare lahan gambut berada di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Saat ini hutan gambut di Indonesia kondisinya sangat memprihatinkan, karena mengalami deforestasi dan degradasi akibat pembalakan liar, pembukaan lahan pertanian, dan maraknya perkebunan sawit. Tak pelak, di lahan gambut ini kerap terjadi kebakaran hutan. Selain rusaknya ekosistem, kebakaran hutan gambut menjadi penyebab utama emisi gas rumah kaca di Indonesia. Karenanya, pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bali Desember 2007, negara-negara konvensi setuju bekerjasama mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang.Sebagai tindak lanjutnya, pemerintah Indonesia bersama Australia membuat percontohan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) melalui program Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalteng. REDD+ adalah mekanisme baru dalam skema pendanaan hutan. REDD+ menyempurnakan mekanisme yang hanya menuntut pengurangan emisi dari penggundulan (deforestasi) dan penurunan kualitas (degradasi) hutan atau lazim disebut REDD.Salah satu lokasi yang dijadikan pusat KFCP adalah Desa Petak Puti, Kecamatan Timpah, Kabupaten Kapuas. Nah, untuk melihat bagaimana program ini dijalankan, sejumlah media cetak nasional diundang KFCP untuk mengunjungi Desa Petak Puti sebagai lokasi pembibitan pohon untuk penananam di hutan gambut yang rusak seluas 120.000 hektare.Sekira pukul 07.15 WIB Jumat (29/6), KONTAN bersama rombongan yang terdiri wartawan, fasilitator KFCC, dan tim dari Yayasan Perpektif Baru meluncur dari Swiss Belhotel Danum, Palangkaraya, menuju Desa Petak Puti.Perjalanan menuju lokasi ditempuh dalam waktu sekitar empat jam dari Palangkaraya dengan menggunakan empat mobil. Tak lebih dari sepuluh menit, kendaraan rombongan sudah keluar kota Palangkaraya dan melintas jembatan merah yang membentang di atas Sungai Kahayan. Jalan lintas Kalimantan ini terbilang mulus dengan aspal hitam mengkilat di jalur yang rata dan lurus. Ya, kontras dengan kemacetan di Jakarta yang saban hari terjadi. Kendaraan yang lalu lalang di jalan ini jarang. Hanya sesekali berpapasan dengan mobil berpelat hitam atau truk pengangkut barang yang melaju kencang. Angkutan umum pun sepertinya mahal dijumpai. Sebab, cuma ada pada waktu-waktu tertentu sehingga kendaraan pribadi bisa merangkap angkutan umum dengan tarif yang lumayan mahal. Lantaran angkutan umum jarang, sepeda motor menjadi alternatif transportasi warga Dayak ini, meski sangat berisiko selama di perjalanan. Apesnya, seperti dua orang pria yang terpaksa mendorong sepeda motor hingga belasan kilometer karena ban kempes, mesin mati atau kehabisan bahan bakar. Jangan ditanya di ruas jalan lintas Kalimantan ini tersedia SPBU. Cuma ada penjual BBM eceran dengan harga yang relatif mahal. Satu liter premiun yang tersimpan dalam botol dan jerigen harganya mencapai Rp 8.000. Sementara itu di kiri-kanan jalan, hutan gambut membentang sejauh mata memandang. Kondisinya variatif. Di beberapa lokasi tampak masih utuh dengan rimbunan pepohonan yang lebat. Sebagian lainnya sudah rusak, hanya tersisa hamparan rumput ilalang. Kubangan-kubangan besar berpasir putih bekas galian tambang pun teronggok. Tanda-tanda bekas kebakaran juga masih tersisa. Terlihat dari batang-batang kayu yang menjulang tinggi ke langit sudah meranggas dan menghitam. Bahkan, masih sempat ditemui titik api yang membakar rumput ilalang dan pohon-pohon kecil. Di areal lainnya, hutan gambut sudah berubah menjadi kebun karet, lahan sawit, dan tanaman singkong. Warga mendirikan rumah kayu berukuran kecil di sekitar kebun karet sebagai tempat sementara menunggui hasil panen. Minimnya sarana transportasi di daerah pedalaman Kalimantan ini tidak terlepas dari jumlah penduduk yang masih sedikit. Tengok saja, satu rumah dengan rumah lainnya di sepanjang jalan saling berjauhan. Baru ada kepadatan rumah yang didominasi bangunan kayu saat memasuki pusat kecamatan atau desa. Di titik ini, berdiri kantor pemerintahan, kantor polisi, toko-toko yang menjual kebutuhan pokok sampai bengkel dan rumah makan.Setelah perjalanan kurang lebih dua jam setengah dari Palangkaraya, jalan yang tadinya mulus beraspal kini tidak dijumpai lagi. Dari titik ini jaringan listrik sudah terputus. Tandanya, sudah tidak tertancap tiang-tiang besi di pinggir jalan. Pemandangan ini selepas melintasi wilayah Kecamatan Timpa dengan beberapa jembatan beton di atas sungai gambut yang airnya berwarna khas seperti teh. Memang badan jalan lebih lebar dua kali lipat dari jalan sebelumnya tapi tidak beraspal lagi. Hanya tanah berpasir putih yang sudah diratakan. Sehingga, ketika kendaraan melintas debu putih pun membungbung ke udara.Satu jam setengah berikutnya, romnongan tiba di Desa Petak Puti. Suasana di desa ini lebih mirip di pinggir pantai padahal berada di tengah-tengah kawasan hutan. Kondisi tanah yang berpasir putih dan berhawa panas membuat keringat di badan bercucuran. Pandangan pun silau terpapar sinar matahari yang memantul di tanah berpasir putih.Desa ini terbilang sudah maju terlihat dari bagunan-bangunan rumah yang cukup bagus dan besar. Malahan ada beberapa rumah tembok yang dikombinasi dengan bangunan kayu dengan model unik. Di desa ini, sudah berdiri sekolah, puskesmas, dan gereja. Sementara mesjid dengan tiang-tiang kayu berdiri kokoh di tepi Sungai Kapuas yang tepat berada di sebelah pemukiman warga Dayak ini. Di sini juga terlihat beberapa perahu kelotok yang hilir mudik. Perahu dalam ukuran besar tertambat di sisi sungai.Selain jalur darat, sungai menjadi sarana transportasi bagi warga Desa Petak Puti untuk mengangkut hasil hutan seperti karet. Mencari ikan di sungai menjadi mata pencaharian utama warga setempat selain karet. "Mata pencaharian kami di sini menangkap ikan dan menanam karet," ungkap Goyang Nihil, Kepala Dusun Petak Puti.Saat ini warga hanya mengandalkan dua profesi tersebut untuk bertahan hidup. Berladang di hutan sudah tidak bisa dilakukan lagi karena tanahnya tandus akibat kebakaran hutan. "Tak bisa berladang, karena apa yang bisa ditanam?" ujarnya. Goyang bilang warga sudah jarang masuk hutan dan menebang kayu. "Memang dulu kami menebang pohon, tapi sekarang tidak," akunya.Adanya sosialisasi dan pendekatan dari berbagai pihak sedikit bayak mengubah kebiasaan lama warga sekitar hutan gambut. Mereka menyadari kerusakan lingkungan yang ada di depan mata akan mengancam kehidupan penduduk yang menggantung hidup dari alam. Rusaknya kelestarian hutan, mereka menilai tidak semata-mata akibat ulah warga yang menebang pohon. Tapi, lebih banyak diakibatkan maraknya aktivitas perkebunan dan tambang berskala besar.Bagaimana dengan program KFCP? Kepala Desa Petak Puti Yuyo P Dulin mengaku ada nilai mamfaatnya tapi belum signifikan dalam meningkatkan taraf hidup warganya. "Kalau mamfaat ada, tapi masih kecil hanya tambahan buat beli beras saja," ucapnya.Pemasukan yang diperoleh warga dari KFCP ini berasal dari insentif pembibitan pohon. Petak Puti memang difokuskan dalam pembibitan tidak mencakup penanaman karena wilayah hutannya masih tergolong baik. Makanya, sambung Yuyo, kuota bibit bisa ditambah sehingga hasil pembayaranya bisa lebih besar. Saat ini masing-masing kepala keluarga dijatah 800 dengan harga Rp 1.200 per bibit.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan