KONTAN.CO.ID - Ledakan dahsyat di Kota Beirut, Lebanon, harus menyadarkan semua pihak bahwa kasus kebakaran yang disusul ledakan di gudang atau pabrik berpotensi terulang lagi di tempat lain. Apalagi, regulasi atau tata kelola bahan kimia reaktif dan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di pabrik atau kawasan industri masih buruk. Tambah lagi, prosedur dan tata kelola penyimpanan bahan kimia reaktif selama pandemi Covid-19 cenderung bermasalah. Karena, petugas lapangan bisa jadi berkurang konsentrasi dan kendor kewaspadaannya. Bahan kimia reaktif dikategorikan sebagai bahan yang bisa bereaksi sendiri atau berpolimerisasi menghasilkan api atau gas toksik ketika ada perubahan tekanan atau suhu, gesekan, atau kontak dengan uap lembab. Misalnya, padatan
flammable yang reaktif terhadap air. Bahan kimia reaktif biasanya dikelompokkan menjadi bahan kimia piroforik, eksplosif, pembentuk peroksida, dan reaktif air.
Bahan piroforik adalah bahan yang dapat terbakar ketika kontak dengan udara pada suhu kurang dari 54 derajat Celcius. Bahan kimia piroforik ada yang berupa padatan seperti fosfor, cairan semacam tributilaluminium atau gas seperti silan. Bahan piroforik harus disimpan di dalam lemari
flammable secara terpisah dari cairan
flammable dan cairan
combustible. Unsur fosfor harus disimpan dan dipotong dalam air. Demikian juga gas silan harus disimpan secara khusus. Bahan eksplosif adalah bahan yang dapat menimbulkan ledakan yang diakibatkan oleh penguraian bahan secara cepat dan menghasilkan pelepasan energi dalam bentuk panas, api, dan perubahan tekanan yang tinggi. Maka, ledakan dahsyat yang mengguncang Beirut menjadi pelajaran berharga untuk negara kita tentang pentingnya membenahi regulasi dan standar perlakuan terhadap bahan industri yang berbahaya. Seluruh Kota Beirut terguncang akibat ledakan dan kepulan asap menyerupai jamur bom atom yang dulu dijatuhkan di Kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Kerusakan menyebar di sekitar kawasan Pelabuhan Beirut. Presiden Lebanon Michel Aoun menyatakan, ledakan disebabkan oleh 2.750 ton amonium nitrat yang disimpan di gudang pelabuhan tanpa pengamanan yang benar. Petaka Beirut menjadi pelajaran bagi semua bangsa agar lebih waspada terkait dengan tata kelola penyimpanan bahan kimia reaktif dan masalah SMK3. Apalagi, di Indonesia pernah terjadi ledakan besar oleh teroris dengan bahan dasar bom dari amonium nitrat. Aksi teror bom Bali pada 2002 yang menewaskan 202 orang diketahui bahan yang digunakan adalah amonium nitrat dalam jumlah besar, yang didatangkan dari luar Bali. Dalam kondisi pandemi virus korona baru, kewaspadaan dan regulasi tidak boleh kendor. Penyimpanan bahan kimia tersebut tidak boleh sembarangan. Apalagi, kebutuhan bahan kimia reaktif untuk dunia industri di Indonesia hingga kini cukup besar. Amonium nitrat banyak digunakan untuk kebutuhan industri pertambangan dan konstruksi. Menurut regulasi, prosedur untuk bisa menyimpan bahan tersebut harus ketat sesuai dengan standar khusus, baik dari sisi tempat maupun tingkat keamanannya. Adapun industri dan usaha pertambangan yang menggunakan amonium nitrat biasanya mempunyai gudang penyimpanan dengan standar khusus. Dan, gudang tersebut harus diawasi dengan ketat oleh petugas teknis bersama aparat keamanan selama 24 jam nonstop.
Kekurangan Sumber Daya Manusia Sebenarnya, kasus ledakan serupa di Beirut pernah terjadi pada 1947 silam di gudang Pelabuhan Texas City, Texas, Amerika Serikat (AS) saat pengangkutan 2.300 ton pupuk ke kapal pengangkut. Kasus ledakan hebat di Texas saat itu disebabkan oleh rokok yang dinyalakan pekerja pelabuhan. Padahal, ketika itu Pemerintah AS telah mengeluarkan aturan yang melarang merokok saat proses bongkar muat di pelabuhan. Nah, saat ini masih banyak pengelola kawasan industri atau pabrik yang tata kelola SMK3 masih buruk. Penyebab utama terjadi kecelakaan kerja di kawasan industri dan pabrik adalah masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran pelaku industri untuk menerapkan regulasi. Bahkan keselamatan kerja menjadi agenda penting Organisasi Buruh Internasional (ILO). Organisasi dunia tersebut merekomendasikan, agar SMK3 menjadi salah satu syarat utama yang diberikan oleh negara maju dalam perdagangan global, baik dalam kegiatan ekspor maupun impor. Dalam materi SMK3 diatur ketentuan bahwa para pelaku industri diwajibkan memenuhi persyaratan teknis dan tersertifikasi standar internasional atau nasional. Hal itu sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8 Tahun 2010 tentang Alat Pelindung Diri. Sayangnya, pihak industri sering melanggar ketentuan di atas demi memangkas biaya. Hingga saat ini, tenaga ahli SMK3 masih minim dan sering terhambat dalam menjalankan tugasnya. Untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) ahli SMK3, sebenarnya cukup sulit dan membutuhkan waktu dan biaya. Perlu pengetahuan lintas disiplin. Pada 2016 telah diterbitkan beberapa peraturan terkait SMK3 antara lain mengenai bidang SMK3 kelistrikan, lift, penyalur petir, bejana bertekanan, dan pesawat tenaga dan produksi. Namun, hal tersebut belum bisa diterapkan di lapangan karena masih kekurangan SDM. Sehingga, pembinaan dan pengawasan terhadap industri masih lambat. Jadi, jangan heran kasus kebakaran pabrik atau kawasan industri yang sering terjadi di Indonesia merupakan puncak gunung es yang menunjukkan tata kelola infrastruktur industri yang rapuh. Harus disadari bahwa perubahan iklim global, bencana alam, hingga ancaman terorisme atau kerusuhan massa memberikan pengaruh yang signifikan terhadap eksistensi infrastruktur industri. Cuaca ekstrem dan musim yang tidak menentu di Indonesia menyebabkan kondisi fisik bangunan dan peralatan mengalami gangguan berat. Sayangnya, gangguan tersebut sering luput dari perhatian yang memiliki otoritas untuk mengelola infrastruktur tersebut. Potensi gangguan yang berpotensi mendatangkan bahaya tersebut semakin serius karena umur operasi infrastruktur pabrik semakin tua, sehingga didera oleh biaya perawatan yang sangat tinggi. Selain itu, seringkali terjadi penundaan jadwal perawatan berkala dan penggantian komponen pabrik yang sudah tidak bisa beroperasi semestinya. Kasus ledakan yang sering terjadi di tangki industri semestinya tidak boleh terjadi. Karena tangki tersebut sudah pasti dilengkapi dengan sensor untuk mendeteksi tekanan, temperatur, serta dilengkapi dengan sistem pendinginan.
Menurut standar operasi, tentu semua sensor tersebut setiap saat dapat dimonitor oleh teknisi yang memiliki tanggungjawab pada
reliability plant equipment atau keandalan peralatan di lapangan. Sehingga, instalasi
pressurized system, dari yang namanya
pipeline hingga
storage tank, semuanya memiliki prosedur monitoring yang baku untuk mencegah kerusakan dan bahaya lainnya. Penulis : Totok Siswantoro Pengkaji Transformasi Teknologi dan Industri Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti