Petaka perang Trump



Kondisi perekonomian dunia saat ini seperti pepatah gajah bertarung melawan gajah, pelanduk mati di tengah. Kekhawatiran ini akibat prahara perang dagang Amerika Serikat melawan China dimulai pada hari-hari ini.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump seperti dikutip kantor berita AFP, terus berkoar akan melipat gandakan tarif masuk produk China yang nilainya hingga US$ 450 miliar ke Amerika Serikat. Amerika hari ini telah memberlakukan tarif 25% untuk 818 barang di pos tarif yang diputuskan pada tahap pertama dengan perkiraan nilai US$ 50 miliar.

Tahap kedua akan memberlakukan ke 284 barang. Beberapa produk selain baja dan aluminium diantaranya termasuk kendaraan penumpang, pemancar radio, suku cadang pesawat dan perangkat komputer.


China pun membalas dengan memasang tarif tinggi atas produk pertanian dan makanan semisal kedelai juga kendaraan bermotor dari AS. Nilai awal produk ini hampir mencapai US$ 30 miliar. Tahap berikutnya produk minyak mentah, bahan-bahan kimia seperti propana.

Perang dagang ini jelas membuat pelaku usaha jengah, baik di sisi China, Amerika Serikat juga Eropa. Mereka ragu melakukan investasi baru, karena khawatir produk yang mereka hasilkan tak bisa masuk ke semua pasar yang sedang perang.

Produsen motor sekelas Harley Davidson yang selama ini nyaman dengan basis produksi di Amerika Serikat lantaran bisa jualan ke semua pelosok dunia, kabarnya mulai mempertimbangkan membangun basis produksi di Eropa agar produk ya tak terkena dampak perang ini.

Gelombang negatif perang dagang ini sudah terasa di Indonesia hampir tiga pekan terakhir. Misalnya rupiah saat ini terus terpuruk di dasar Rp 14.000 sejak pertengahan Juni 2018.

Sementara di pasar saham, indeks harga saham gabungan (IHSG) sudah terus memerah dua pekan terakhir. Meskipun hampir menyentuh 6700 poin di awal tahun, pekan ini IHSG kembali nyungsep ke 5.562 poin pada pekan ini.

Tak banyak yang bisa dilakukan oleh Indonesia selain menunggu perkembangan dan berharap perang reda. Langkah klasik yang ditempuh Bank Indonesia dengan menaikkan bunga acuan hingga 1% dua bulan terakhir, dari 4,25% menjadi 5,25% belum cukup mendongkrak rupiah.

Tekanan rupiah ini justru mengkhawatirkan buat perusahaan pelat merah pengemban tugas infrastruktur. Maklum dalam beberapa tahun terakhir mereka menumpuk utang baik dollar maupun rupiah yang otomatis bakal ikut bengkak.•

Syamsul Ashar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi