Petani dan pengusaha sawit minta BK ekspor CPO berlaku tetap 3%



JAKARTA. Penerapan bea keluar (BK) ekspor crude palm oil alias minyak sawit mentah yang bersifat progresif oleh pemerintah dinilai tidak efektif untuk mendorong hilirisasi industri CPO. Penerapan BK progresif juga tidak berhasil menjaga stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri. Karenanya, kalangan pengusaha dan petani kelapa sawit meminta pemerintah untuk mengubah BK ekspor CPO menjadi konstan alias tetap.Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan, berdasarkan evaluasi skema kebijakan BK CPO saat ini justru membuat harga sawit di tingkat petani melorot. "Karena itu kita sampai pada kesimpulan BK itu harusnya flat (tetap) pada tingkat di atas US$ 700 per ton. Yang cocok besaran BK sekitar 3%," ujar Fadhil saat diskusi sawit di Jakarta, Kamis (27/1).Fadhil mencontohkan, saat diterapkan BK sebesar 3%, penurunan harga CPO di tingkat petani sebesar Rp 195 per kg, dan penurunan harga ini meningkat menjadi Rp 560 per kg ketika BK meningkat menjadi 7,5%. "Semakin besar BK yang ditetapkan, maka semakin besar penurunan harga di tingkat petani, rata-rata penurunannya sekitar Rp 200 per kg," katanya.Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad mengakui, akibat penetapan BK progresif ini membuat harga TBS di tingkat petani melorot. "Empat minggu lalu harga TBS di tingkat petani Rp 2.008 per kg, hari ini harga TBS hanya Rp 1.914 per kg," ungkapnya. Bahkan, akibat banyak pungutan dan biaya angkut yang tinggi karena infrastruktur buruk, petani di Papua hanya menerima harga Rp 800 - Rp 1.100 per kg.Karenanya, Gapki dan Apkasindo meminta pemerintah agar mengevaluasi kembali skema BK ekspor CPO ini. Fadhil menambahkan, seharusnya dana BK dikembalikan ke petani untuk membantu peremajaan tanaman kelapa sawit, membangun infrastruktur di areal perkebunan. Selain itu, dana BK juga seharusnya digunakan sebagai dana subsidi untuk meredam kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri.Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Benny Wachjudi mengatakan pihaknya setuju jika BK digunakan untuk petani, stabilisasi harga minyak goreng melalui operasi pasar, dan perbaikan infrastruktur di daerah perkebunan.Hanya saja, Benny tidak setuju jika BK diberlakukan tetap. "Pemberlakuan BK progresif bertujuan agar menjaga stabilisasi harga produk hilir dan mendorong pengembangan industri hilir," ungkapnya.Hilirisasi Butuh Investasi US$ 7,3 MiliarHarus diakui, saat ini porsi ekspor CPO Indonesia sebanyak 60% adalah produk CPO mentah, dan hanya 40% yang merupakan produk turunan. Ketua Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengungkapkan, sebenarnya salah satu cara mendorong hilirisasi adalah dengan mengurangi porsi ekspor CPO dan meningkatkan ekspor CPO olahan.Sahat mengungkapkan, tahun 2014 nanti pemerintah berencana mengubah porsi ekspor CPO mentah menjadi 40% sedangkan ekspor CPO olahan menjadi 60%. Dalam hitungannya, upaya hilirisasi industri sawit nasional hingga tahun 2014 nanti membutuhkan dana sekitar US$ 7,3 miliar.Investasi ini bisa diwujudkan dalam bentuk pembangunan pabrik baru, peremajaan pabrik dan modernisasi mesin dan alat pabrik pengolahan CPO. "Dengan investasi ini, nilai tambah yang bisa diperoleh Indonesia sekitar US$ 11,02 miliar sepanjang 2011-2014 nanti," ujar Sahat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Rizki Caturini