KONTAN.CO.ID - INDIA. Seorang petani kedelai berusia 57 tahun di negara bagian Madhya Pradesh, India tengah, mengaku kecewa dengan hasil panen musim ini. Lahan subur seluas lebih dari 3 hektare (7,4 acre) miliknya hanya menghasilkan 9.000 kg kedelai, atau sekitar seperlima dari produksi yang seharusnya, akibat hujan berlebihan yang merusak tanaman. Sementara itu, harga jagung yang ditanam di dekat kedelai justru anjlok karena panen melimpah akibat curah hujan yang tinggi.
“Produksi hanya sekitar 9.000 kg, padahal seharusnya jauh lebih tinggi,” ujar Patel kepada Al Jazeera.
Ketegangan Perdagangan India-AS
Kedua komoditas agrikultur ini, yang banyak digunakan untuk pakan ternak dan konsumsi manusia, menjadi salah satu poin penting dalam negosiasi perdagangan antara India dan Amerika Serikat.
Baca Juga: Insiden Tragis: Tujuh Gajah Tewas Tertabrak Kereta Api di India Hingga saat ini, Presiden Donald Trump memberlakukan tarif 50 persen terhadap India, mendorong beberapa industri yang bergantung pada ekspor ke AS berada di ambang kehancuran. Salah satu isu utama adalah akses AS ke sektor pertanian India, termasuk permintaan untuk membuka pasar bagi kedelai dan jagung genetically modified (GM). Teknologi GM memungkinkan modifikasi DNA tanaman untuk mempercepat produksi dibandingkan teknik pembiakan tradisional. AS adalah produsen kedelai terbesar kedua di dunia setelah Brasil, menyumbang 28 persen dari total produksi global. Sebelumnya, China adalah pembeli utama kedelai AS, namun perang dagang telah membuat penjualan ke Beijing menurun drastis. “Trump harus menjual kedelai dan jagungnya agar basis pemilih petani AS tetap puas,” kata Suman Sahai, pendiri organisasi nirlaba Gene Campaign.
Sikap Hati-hati India
India sejauh ini menolak impor kedelai dan jagung GM, karena negara ini memproduksi tanaman non-GM atau organik yang memiliki pasar global khusus. Menurut para ahli, masuknya varietas GM bisa merusak persepsi kualitas organik India.
Baca Juga: India Atasi Kelebihan Gula dengan Tingkatkan Ekspor dan Genjot Produksi Etanol India menghasilkan sekitar 13,05 juta ton kedelai, dengan Madhya Pradesh menyumbang lebih dari setengahnya. Produksi jagung sekitar 42 juta ton, 20 persen digunakan untuk bahan bakar etanol. I ndia juga mandiri dalam produksi jagung, tetapi masih mengimpor minyak kedelai untuk konsumsi, karena keterbatasan infrastruktur pengolahan. Para petani mengeluhkan praktik perdagangan yang merugikan, di mana pedagang membeli di bawah harga pemerintah, ditambah biaya pupuk, benih, dan alat pertanian yang tinggi, serta curah hujan yang tidak menentu. “Pedagang menentukan harga sesuka mereka, karena pemerintah tidak membeli dari kami. Kami bahkan tidak bisa menutupi biaya produksi,” kata Prakash Patel, petani jagung berusia 50 tahun. Para petani khawatir, kerugian mereka akan membesar jika produk GM AS masuk ke pasar India. Menurut Nirbhay Singh, petani kedelai di desa Piploda, produksi kedelai GM dapat mencapai 3 ton per 0,40 hektare, dibandingkan 1 ton pada varietas tradisional.
Dampak pada Ekspor dan Pasar Global
Hemant Jain, eksportir jagung, menyebut kualitas non-GM India memiliki permintaan tinggi di pasar internasional. Impor produk GM bisa menimbulkan keraguan di kalangan pembeli asing dan menurunkan kepercayaan terhadap produk India.
Baca Juga: Disambut Ribuan Fans, Messi Akhiri Tur di India Menurut Indra Shekhar Singh, analis pertanian independen, rata-rata lahan petani India hanya 2 hektare dengan keluarga 5–7 anggota bergantung pada tanah tersebut. Hal ini berbeda dengan petani AS yang memiliki lahan luas dan menerima subsidi besar dari pemerintah. “AS mencoba mencari pasar alternatif selain China, tapi petani India tidak bisa bersaing dengan komoditas bersubsidi AS. Dalam beberapa tahun, mereka bisa menguasai pasar dan membuat petani kita jatuh miskin,” jelas Singh.
Lobi dan Pro-GM di India
Beberapa ilmuwan dan pengamat industri menilai ada manfaat teknologi GM bagi kedelai dan jagung di India, termasuk ketahanan terhadap hama, pengurangan penggunaan insektisida, serta peningkatan produksi yang signifikan. Kawaljeet Bhatia, pemasok pakan unggas, menilai GM dapat meningkatkan produksi, namun ia menekankan India sebaiknya mengembangkan benih GM sendiri daripada mengimpor.
Pemerintah India bersikap hati-hati, mengingat sektor pertanian menyumbang 18 persen PDB dan menopang 46 persen populasi. Pengalaman protes besar-besaran petani 2020-21 juga menjadi pelajaran penting dalam mengambil keputusan, kata Sibaji Pratim Basu, komentator politik independen. “Ada masalah hubungan dagang India-AS akibat tarif, yang memukul bisnis di India. Pemerintah pasti mempertimbangkan basis pemilihnya sebelum mengambil keputusan,” tambah Basu.