KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kasus tumpahan minyak di lapangan Montara memasuki babak baru. Pengadilan Federasi Australia memenangkan gugatan 15.000 petani rumput laut Indonesia kepada PTT Exploration and Production (PTTEP) asal Thailand. Pengadilan Australia memutuskan PTTEP harus bertanggung jawab atas tumpahan minyak yang terjadi di lapangan Montara pada tahun 2019. Catatan digital KONTAN merunut kejadkan itu. Anjungan minyak dilapangan lepas pantai Montara meledak di 21 Agustus 2019. Rig itu meledak di barat laut Australia.
Ledakan itu diduga membuat 30 ribu barel minyak tumpah dan mengalir ke Laut Timor sekitar 74 hari usai ledakan. Dus, tumpahan minyak itu berdampak hingga ke pesisir Indonesia.
Baca Juga: Indonesia akan minta tanggungjawab Australia terkait tumpahan minyak di Montara Ekosistem rusak, mata pencaharian para petani rumput laut hilang. Ini pula yang membuat 15 ribu petani rumput laut menggugat (class action) ke PTTEP di pengadilan. Mereka meminta ganti rugi sebesar US$154 juta atau Rp 2 triliun dari PTTEP untuk menutupi kerusakan lingkungan tersebut. Dalam putusannya, Hakim Pengadilan Federal David Yates menyebutkan bahwa tumpahan minyak Montara telah mengakibatkan kerugian material dan menyebabkan kematian, serta rusaknya rumput laut yang menjadi mata pencarian para petani. Yates menyatakan, dalam sidang, PTTEP juga tidak menyanggah bukti bahwa mereka telah lalai dalam operasinya di ladang minyak Montara. Oleh karena itu, pengadilan menghukum perusahaan tersebut untuk memberi ganti rugi sebesar Rp 252 juta kepada penggugat utama dari gugatan kelompok (class action) tersebut. Adapun PTTEP dalam sidang menyatakan tengah mempertimbangkan untuk naik banding. Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam rilis Jumat (19/3) mengatakan, pemerintah terus mendukung upaya para petani rumput laut dalam mencari keadilan. Luhut mengatakan, untuk membantu para petani, pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) pada Agustus 2018 untuk mengumpulkan bukti, dan data yang dibutuhkan untuk mendukung upaya para petani di pengadilan. Satgas yang dipimpin oleh eks deputi bidang koordinasi kedaulatan maritim Purbaya Yudhi Sadewa yang kini adalah Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu mengumpulan data dari cintra satelit Lapan, data sampel minta di Pulau Rote, data kualitas air serta data dari dampak kerugian sosial ekonomi yang ditanggung masyarakat di wilayah Timor Barat untuk di bawa sebagai bukti di pengadilan.
Baca Juga: Penyelesaian tumpahan minyak Montara tanpa lewat jalur pengadilan Jadi, "Saya menyambut baik putusan pengadilan ini, selanjutnya kami sedang menunggu sikap dari PTTEP," kata Luhut. Kemenangan ini, kata Luhut layak disyukuri. Mengingat sebelumnya, kasus ini sempat tanpa perkembangan pasca petani menggugat di pengadilan. Pemerintah bahkan juga ikut menyuarakan keberatan sejak tahun 2012. Pemerintah juga terus berupaya mengumpulkan sejumlah barang bukti, mengundang 50 saksi, dan meminta PTTEP memberi kompensasi melalui jalur non-litigasi. Tapi lagi lagi tak membawa hasil. Tahun 2017, pemerintah lantas menggugat ganti rugi kepada PTTEP ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara No.241/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst.
Gugatan itu dilayangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada tiga perusahaan Thailand, yaitu The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Australasia (PTTEP AA) sebagai tergugat I, PTTEP selaku tergugat II, dan The Petroleum Authority of Thailand Public Company Limited (PTT PCL) selaku tergugat III.
Baca Juga: Akan digugat lagi atas tumpahan minyak di Montara, PTT PCL nilai gugatan salah alamat Tapi gugatan itu kemudian dicabut oleh pemerintah dengan alasan ingin memperkuat gugatan dan salah mencantumkan nama tergugat. Kini, gugatan petani rumput laut itu membawa hasil, meski putusan pengadilan atas ganti ruginya terbilang mungil ketimbang tuntutan dan efek yang ditimbulkan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Titis Nurdiana