JAKARTA. Kenaikan jumlah biji kakao yang difermentasi membantu mengerem impor. Impor biji kakao selama Januari-Oktober 2011 merosot 35% dibanding setahun lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Januari-Oktober 2011, impor biji kakao sebesar 16.033 ton senilai US$ 53,06 juta. Sedangkan setahun lalu, impor mencapai 22.426 ton senilai US$ 82,3 juta. Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya menjelaskan, sebelumnya jumlah produksi biji kakao fermentasi sekitar 5% dari produksi kakao. Fermentasi dilakukan PTPN dan perkebunan swasta. Namun sekarang, jumlahnya naik 10% karena petani juga ikut melakukannya.
Namun, karena tetap belum mencukupi kebutuhan industri, impor kakao tetap dilakukan khususnya untuk biji kakao fermentasi asal Afrika. "Kakao Indonesia rasanya, buah-buahan, kalau kakao Afrika ada rasa susunya. Beberapa industri susu seperti Nestle, Indomilk dan Frisian Flag, butuh campuran biji kakao dari Afrika itu," ucap Sindra, Selasa (13/12). Direktur Utama PT Sarinah Jimmy Rifai Gani mengatakan pihaknya akan bekerja sama dengan gabungan kelompok tani di wilayah Kendari, Sulawesi Tenggara, untuk peningkatan mutu biji kakao melalui fermentasi. Sarinah akan menyediakan pendanaan, namun masih mencari mekanisme yang paling sesuai. "Kami sudah ada MOU, kalau bisa petani kita fasilitasi untuk melakukan fermentasi, baru nanti kami ambil," ujarnya. Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (Apkai) M. Hasyim mengakui petani belum mampu memproduksi biji kakao fermentasi sebanyak kebutuhan industri. Selain itu, petani yang memfermentasi biji kakao umumnya sudah bekerja sama dengan perusahaan pengolah kakao. Sayangnya, menurut Hasyim, hanya dua perusahaan yang bekerja sama dengan petani untuk menyerap biji kakao fermentasi. Dia memperkirakan baru 10% petani kakao yang menjalin kerja sama dengan pabrik. "Belum banyak pabrik yang bekerja sama dengan petani karena untuk itu mereka harus turun ke daerah sentra produksi, mungkin secara hitungan agak berat," ujarnya.
Tak semua petani juga mau melakukan fermentasi yang prosesnya panjang dan merepotkan. Untuk fermentasi kakao dibutuhkan waktu minimal lima hari dan petani harus membolak-balik kakao mereka ketika dijemur. Dia menggambarkan, kakao fermentasi memang lebih mahal sekitar Rp 3.000 ketimbang non fermentasi. "Tetapi kalau produksinya cuma sedikit, tidak cepat dijual petani makan dari mana?" kata Hasyim. Lagipula, permintaan kakao tak berfermentasi untuk diekspor ke Amerika Serikat juga masih tinggi. Walau begitu, menurut Sindra, biji kakao non formentasi sering terkena potongan harga. Sebab, tak ada harga acuannya di pasar internasional. Sementara, hanya Indonesia yang masih memproduksi jenis ini. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini