JAKARTA. Para petani rumput laut di beberapa daerah belakangan tengah gundah gulana. Pasalnya, harga jual komoditi ini terus melemah dalam seminggu terakhir. Di sentra budidaya rumput laut di Ternate, Maluku Utara misalnya. Harga rumput laut di tingkat pengumpul hanya Rp 8.000 per kilogram (kg). Seminggu lalu harganya masih Rp 12.000 per kg. Anjloknya harga di tingkat pengumpul itu tentu berimbas pada harga jual petani. Saat ini, harga rumput laut kering di tingkat petani hanya Rp 5.000 per kg. Harga ini melorot 60% dibanding dengan seminggu sebelumnya yang masih Rp 8.000 per kg.
Penurunan harga juga dirasakan para petani di Desa Kutuh, Kabupaten Badung, Bali. Di desa ini, harga setiap satu kilogram rumput laut kering berkadar air 30% hanya Rp 10.500. Padahal, seminggu sebelumnya para petani masih bisa menjual di harga Rp 12.000 per kg. Ketua Kelompok Tani Rumput Laut Sari Segara, Kutuh, Bali, I Ketut Lencana Yasa mengaku heran dengan penurunan harga rumput laut ini. Pasalnya, produksi rumput laut di beberapa daerah sedang terhambat cuaca yang belum stabil. Di sisi lain, permintaan rumput laut baik lokal maupun luar negeri terus naik. Dengan kondisi seperti itu, seharusnya harga rumput laut justru menanjak. Permainan eksportir Ketut menduga, anjloknya harga karena ada permainan para eksportir di Surabaya. Mereka menekan harga di tingkat petani untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Cara ini dimungkinkan karena saat ini belum ada mekanisme pengaturan harga rumput laut. Penetapan harga banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul dan eksportir, dan mereka bisa menekan harga di tingkat petani. "Kami selalu dirugikan karena harga tidak sesuai dengan semestinya," keluh Ketut. Menurut Syalahuddin, petani rumput laut di Ternate, saat harga masih Rp 8.000 per kg, petani bisa meraup pendapatan Rp 480.000 per satu rol (1 rol=60 kg) rumput laut kering. Tapi, dengan harga yang hanya Rp 5.000 per kg, pendapatan petani terpangkas 37,5% menjadi Rp 300.000 per satu rol rumput laut kering. Di sisi lain, beban produksi petani tinggi. Untuk menghasilkan satu rol rumput laut, petani harus merogoh biaya Rp 300.000. Biaya sebesar itu dipakai buat membeli bibit Rp 200.000, dan membeli tali pengikat rumput laut sepanjang 200 meter seharga Rp 100.000. "Jika harga turun, pendapatan kami pas-pasan," kata Syalahuddin. Selama ini, Surabaya memang menjadi tempat pengumpulan rumput laut dari berbagai daerah untuk kemudian di ekspor. Ada empat daerah yang rutin memasok rumput laut ke Surabaya, yaitu Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan beberapa daerah di Pulau Jawa. Untuk mengatasi masalah ini, para petani meminta pemerintah mengatur dan mengawasi penetapan harga rumput laut. Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Victor Nikijuluw membenarkan bahwa saat ini belum ada mekanisme penentuan harga rumput laut. Ia juga mengakui, fluktuasi harga rumput laut sering terjadi akibat ulah eksportir.
Menurut Victor, KKP sudah menyiapkan sejumlah langkah guna mengatasi masalah itu. Di antaranya menutup keran ekspor rumput laut gelondongan mulai tahun 2012. Ekspor rumput laut gelondongan disinyalir menjadi salah satu penyebab fluktuasi harga di tingkat petani. Pasalnya, banyak eksportir yang berkongsi dengan perusahaan di China untuk mengambil rumput laut dengan harga murah. Selain itu, pemerintah akan memetakan industri pengolahan domestik. Nanti, setiap perusahaan akan mendapat pasokan rumput laut dari satu wilayah saja. Perusahaan akan untung karena mendapat kepastian pasokan. Di sisi lain, petani mendapat kepastian harga. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Rizki Caturini