Peternak layer minta Permendag No.27 direvisi



KONTAN.CO.ID - Koordinator Forum Peternak Layer Nasional (PLN) Ki Musbar mengungkap, peternak layer meminta supaya pemerintah melakukan revisi terhadap Permendag No. 27 tahun 2017 khususnya harga acuan pembelian telur di tingkat peternak karena dianggap tidak merata di seluruh Indonesia.

Padahal, menurutnya harga jagung saat ini sudah merata sekitar Rp 4.300 hingga Rp 4.400 per kilogram.

"Kami minta dilakukan revisi Permendag nomor 27 tahun 2018. Kami mengusulkan karena harga jagung itu sama di 10 sentra produksi, kami minta supaya harga acuan itu berlaku secara nasional. Saat ini harga Rp 18.000 itu hanya berlaku di DKI Jakarta dan Jawa Barat, di mana yang menikmati hanya peternak dari Banten dan Jawa Barat," ujarnya kepada KONTAN, Selasa (26/9) lalu.


Dia menjelaskan, peternak yang mengirim telur dari Jawa Tengah harus menanggung biaya pengiriman ke Jakarta sebesar Rp 1.500 per kg, di mana harga pengiriman tersebut termasuk dalam biaya penyusutan sehingga harga yang mereka nikmati hanya sekitar Rp 16.500. Hal yang sama juga dialami oleh peternak dari Jawa Tengah yang harus menanggung biaya pengiriman sekitar Rp 1.000 - Rp 1.200 per kilogram.

Sementara itu, peternak dari berbagai daerah banyak yang mengirimkan telur ke wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat lantaran wilayah tersebut menyerap 50%-60% dari produksi telur secara nasional. "Dengan begini kasihan peternak yang di luar Banten dan Jabar, ada ketidakadilan di sini. Padahal telur lebih banyak diserap Jakarta dan Jawa Barat," tambahnya.

Sementara itu, menurutnya harga jagung bisa sama di berbagai wilayah sentra produksi karena pengirimannya tidak jauh dari area tanam. Menurutnya dulu terjadi perbedaan harga sekitar Rp 500 - Rp 600 sehingga harga di tingkat peternak juga mengalami perbedaan.

Meski begitu, Ki Musbar juga mengungkap bahwa permintaan perubahan Permendag ini dapat berdampak terhadap konsumen. Apalagi, bila harga acuan pembelian di tingkat peternak ditingkatkan. Karena itu dibutuhkan pendapat dan masukan dari para pihak terkait seperti pedagang telur untuk membahas masalah ini.

"Kalau mau menaikkan harga di tingkat konsumen menjadi Rp 1.500 untuk mensubsitusi biaya ekspedisi, dampaknya bisa seperti apa. Siapa yang lebih menikmati. Kami mau meminta pendapat terkait supaya mereka bisa menyampaikan pendapat. Permasalahannya sekarang, broker, pedagang telur seperti retail itu tidak pernah datang untuk bersama-sama membahas ini," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto