Petisi blusukan asap untuk Jokowi



JAKARTA. Kebakaran hutan dan lahan gambut di Riau sudah terjadi selama 17 tahun terus menerus dan tidak kunjung terselesaikan, kendati telah beberapa kali berganti presiden.

Atas kerusakan hutan yang semakin kronis inilah yang mendorong Abdul Manan membuat petisi untuk pertama kalinya, mengajak Presiden Joko Widodo (Jokowi) blusukan ke lokasi kebakaran lahan gambut dan hutan. Petisi yang ia unggah di www.change.org/BlusukanAsap, baru dibuat hari ini, sudah mencapai 4.166 lebih tanda tangan pendukung.

“Orang suka bercerita, Pak Jokowi dekat dengan rakyat, dan betul-betul mendengar. Suka blusukan. Mau tidak Pak Jokowi blusukan ke tempat kami? Langsung melihat hutan gambut, kebakaran, dan asapnya. Hanya dengan begitu Pak Jokowi bisa mengerti kehidupan kami sehari-hari dengan asap,” pinta  Manan di FX Sudirman, Jakarta, Selasa (28/10).


Lewat blusukan, Manan berharap, Jokowi bisa bergerak cepat mengatasi kabut asap di Riau. Soalnya di luar Riau, mudah untuk melihat hal ini sebagai bencana. Tapi untuk masyarakat lokal, bencana asap sudah dianggap wajar. Bagaimana tidak, kebakaran hutan gambut terus terjadi selama 17 tahun berturut-turut buntut dari izin-izin perkebunan sawit dan hutan tanaman industri diterbitkan secara masif.

Petisi #BlusukanAsap ini mendapat dukungan dari Walhi, Greenpeace Indonesia, dan Yayasan Perspektif Baru. Para pegiat dan pemerhati lingkungan mendesak blusukan ke lokasi kebakaran gambut dan hutan harus menjadi agenda utama dan prioritas bagi Presiden Jokowi di awal pemerintahannya. Ini sebagai langkah awal agar pemerintahan baru memahami permasalahan kebakaran lahan hutan dan gambut secara mendalam di berbagai daerah di Indonesia.

Alhasil, langkah blusukan Jokowi ke hutan tersebut diharapkan ditindaklanjuti dengan upaya-upaya nyata bersama untuk mengakhiri bencana ekologis secara menyeluruh. Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau Haris Gunawan menganggap, blusukan Jokowi diyakini mampu memotret kondisi nyata kerusakan dan dampak kebakaran yang terjadi di lahan dan hutan gambut. Tahun ini saja, menurut data BNPB, kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan di Riau mencapai Rp 15 triliun, lebih dari 2.396 hektare cagar biosper dan 21.914 hektare lahan terbakar, serta lebih dari 58.000 warga terkena ISPA. Belum lagi biaya pengendalian kebakaran yang mencapai Rp 150 miliar.  

Tak cuma itu, blusukan Jokowi bisa memberi harapan baru negeri terbebas asap dan sekaligus menentukan arah kebijakan pengelolaan lahan dan hutan gambut tersisa yang lebih mengedapankan manfaat jasa-jasa lingkungan seperti penyimpan air, karbon, keanekargaman hayati, dan gudang karbon yang sangat besar. Atas dasar itu, lahan gambut yang terlanjur dimanfaatkan harus lebih ditingkatkan pengelolaan airnya. "Penertiban dan pengaturan kanal-kanal yang telah digunakan untuk mengeringkan gambut menjadi salah satu skenario penting menuju Indonesia hebat dalam mengelola salah satu sumberdaya alam penting di negeri ini," katanya.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan bilang, pendekatan pemerintah sebelumnya tidak menunjukkan kemajuan signifikan dalam penuntasan masalah kebakaran hutan dan lahan karena tidak menyelesaikan problem mendasar tata kelola hutan dan perkebunan secara menyeluruh. Yang ada adalah kegagalan akibat pemberian izin melebihi kapasitas pemerintah dalam mengawasi pemanfaatan lahan gambut dan hutan untuk kepentingan industri. Apalagi perusahaan mengajukan izin melebihi kemampuan dalam mengendalikan dampak pembukaan hutan. "Kebakaran hutan dan bencana asap tidak bisa diselesaikan jika pemerintah hanya berposisi sebagai pemadam kebakaran," kritiknya.

Abetnego juga menyarankan Jokowi harus segera mereview berbagai regulasi dan kebijakan yang masih bersikap permisif atas tindakan pembakaran hutan, dan menguatkan regulasi perbaikan tata kelola hutan dan perlindungan lahan gambut di Indonesia.

Kepala Greenpeace Indonesia Longgena Ginting menambahkan, Indonesia adalah salah satu emiter gas karbon terbesar di dunia yang menjadi sumber masalah perubahan iklim. Sebab, sebagian besar emisi ini berasal dari kerusakan hutan dan kebakaran lahan gambut. Bencana ekologis ini telah menjadi peristiwa yang terus-menerus terjadi selama 17 tahun. Karena itu, penanggulangan kebakaran hutan dan gambut seharusnya menjadi prioritas utama pemerintah Jokowi dan Kabinet Kerja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan