KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Phapros Tbk (PEHA) terus melakukan upaya transformasi digital yang menjadi kebutuhan dunia industri, khususnya farmasi. Yudhi Arieffianto
General Manager IT PEHA menuturkan pandemi Covid-19 telah menjadi salah satu faktor yang mempercepat proses tersebut, sehingga banyak operasional bisnis saat ini bisa dipersingkat dan lebih efisien karena adanya teknologi yang memadai Yudhi Arieffianto juga menilai karakteristik industri farmasi berkaitan erat dengan regulasi-regulasi pemerintah, seperti tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), penggunaan bahan, pengolahan, infrastruktur hingga sistem komputerisasinya.
“Proses-proses bisnis ini membutuhkan adopsi teknologi, tidak saja di bagian produksi, tapi juga mencakup rantai pasokannya. Dan pemilihan teknologinya dipengaruhi oleh produk yang dipasarkan dan yang paling berkontribusi terhadap pertumbuhan,” tuturnya dalam acara webinar Pemanfaatan Teknologi Digital dalam Industri Farmasi bersama Sahamology baru-baru ini di Jakarta.
Baca Juga: Pendapatan dan Laba Bakrie & Brothers (BNBR) Naik di Kuartal I 2023 Yudhi mengatakan, digitalisasi teknologi bisa membantu tim operasional seperti melakukan pengecekan status produksi, kendala yang sedang dihadapi, titik kemacetan atau
bottle neck, yang semuanya bisa divisualisasi. Sebelumnya, tim lapangan tidak punya akses untuk melihat product availability sehingga banyak yang luput untuk diawasi. “Demikian juga dari sisi pengadaan. Ketika kita menerima terlalu banyak pesanan, maka butuh sistem reminder agar tidak terlewat, sistem monitoring untuk melihat apakah barangnya sudah datang atau belum, sudah ditempatkan atau belum, juga apakah sudah terdistribusi atau masih di pabrik,” ungkapnya. Menurutnya, industri farmasi merupakan industri padat modal yang tidak saja membutuhkan investasi besar pada mesin, tapi juga kualifikasi ruangan serta persyaratan infrakstruktur. "Teknologi itu butuh investasi, saat kesenjangan proses sudah teridentifikasi, maka saat itu sudah bisa dicari teknologi yang sesuai dengan portofolio produk kita dan kebutuhan kita.” Yudhi mencoba menganalogikan pemanfaatan teknologi dari sisi penghematan. Ia memberikan contoh dalam pemilihan teknologi yang bisa menghemat waktu sekian jam dalam proses produksi atau manajemen. Lalu dikalkulasikan menjadi nilai rupiah. "Anggap saja penghematannya senilai Rp 100 juta, sedangkan harga teknologinya Rp 500 juta. Artinya, dalam lima bulan modal sudah bisa kembali," sambungnya. Yudhi menambahkan bahwa proses digitalisasi teknologi yang dilakukan oleh Phapros cukup kompleks, karena terkait dengan regulasi dari otoritas yang berwenang. Misalnya, ia melanjutkan, sebelumnya ada teknologi Laboratory Management System (LIMS) yang menjadi semacam teknologi mandatori bagi industri farmasi, tapi jika membeli itu biayanya sangat mahal. Sedangkan, kalau dikembangkan sendiri secara kalkulasi bisa lebih efisien, kebutuhan
user dan kewajiban terhadap regulator pun terpenuhi.
Baca Juga: Harga CPO Turun, Begini Strategi Astra Agro Lestari (AALI) Saat disinggung mengenai pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan (AI), ia mengatakan bahwa AI merupakan teknologi yang bisa memprediksi suatu pola. Di luar negeri, industri farmasi sudah ada yang mengembangkan kecerdasan buatan untuk memprediksi senyawa dalam penggunaan obat. Hal tersebut sangat memungkinkan karena di negara-negara maju
database bahan farmasi sudah sangat lengkap. “Di Indonesia, beberapa pelaku industri farmasi sudah mulai ke arah sana. Termasuk juga Phapros, meski tentu jalannya masih agak panjang. Salah satu yang menjadi tantangan penerapan AI adalah validitas, karena farmasi sangat bergantung pada validitas," paparnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi