PHK di Sektor Padat Karya Tak Bisa Dihindarkan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA.Pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali mengguncang sektor industri di dalam negeri. Industri padat karya seperti tektstil, alas kaki, makanan dan minuman teleh melaporkan adanya PHK. Sejak awal 2024 hingga saat ini ada sekitar 13.800 pekerja menjadi korban PHK di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dari 10 pabrik di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pengamat Ketenagakerjaan Tajudin Nur Efendy mengatakan, PHK di sektor industri terutama padat karya tidak bisa dihindarkan. Penyebabnya, faktor ekstersnal yakni ekonomi dunia yang masih fluktuatif ditambah ketegangan geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan Isreal-Iran. "Permintaan dari pasar global atau ekspor untuk produk asal Indonesia ikut terkontraksi," katanya saat dihubungi KONTAN, Jumat (14/6).

Tajudin menjelaskan, untuk faktor internal lebih kepada turunnya daya beli masyarakat. Sejatinya, dari keterpurukan pandemi Covid-10 hingga sekarang perbaikan ekonomi tidak signifikan. Sehingga, tingkat konsumsi masyarakat juga terus melemah karena daya beli anjlok. "Padahal, konsumsi menyumbang 50% terhadap PDPB," jelasnya.


Sementara itu, aneka insentif hingga perlinso dan bansos yang digelontorkan pemerintah, termasuk tunjangan atau THR keagamaan hanya mengungkit daya beli sesaat, "Itupun dipengaruhi momentum seperti Lebaran dan Natal, serta libur tahun baru. Setelah itu, pasar kembali lesu," sebut Tajudin.

Setali tiga uang dengan insentif fiskal yang diberikan pemerintah ke sektor industri padat karya, efeknya pun hanya sedikit. Pasalnya, industri juga sudah banyak menanggung biaya dari mulai kenaikan pajak, kenaikan upah buruh, dan lainnya. Celakanya, inflasi tinggi yang membuat harga barang/jasa naik semakin membebani sektor industri.

Menurut Tajudin, sektor industri padat karya berusaha bertahan dengan situasi perekonomi yang tidak menentu untuk tidak melakukan PHK. Haya saja, sepinya pasar membuat PHK menjadi jalan terakhir untuk menekan beban anggaran. Di sisi lain, saat ini masyarakat juga dihadapkan pada periode tahun ajaran baru, yang mana kebutuhan biaya juga menguras. Artinya, masyarakat mengerek konsumsi karena memprioritaskan kebutuhan sekolah yang saban tahun selalu meningkat.

Celakanya, nilai tukar rupiah juga semakin lemah, karena sudah menyentuh level Rp 16.344 per dolar AS. "Kalau rupiah jebol lebih dari Rp 17.000-an per dolar AS, bisa jadi membuka jurang krisis seperti tahun 1998 lalu," terangnya.

Terkait data pengangguran, Tajudin mengaku agak heran dengan publikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukan angka pengangguran menurun. "Agak aneh karena angka penganguran turun di tengah marak PHK masal," tandasnya.

BPS mencatat pengangguran di Indonesia mencapai 7,20 juta orang per Februari 2024. Angka ini setara dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,82%. Angka pengangguran ini lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya dan bahkan lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pengangguran sebelum pandemi Covid-19 di mana pada Februari 2020 yakni 4,94%.

Tajudin menjelaskan, angka TPT turun karena pada Februari masuk masa tanam,sehingga banyak masyarakat yang bekerja di sektor pertanian. Beda halnya jika publikasi pada Agustus pasti akan tinggi karena masuknya angkatan kerja baru yang beres sekolah atau kuliah dan sedang mencari kerja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan