KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hingga September 2024 masih marak terjadi. Hal ini berdampak pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, di mana pencarian manfaat mengalami kenaikan. Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), jumlah pekerja terkena PHK Januari—September 2024 mencapai 52.993 orang. Angka ini meningkat 26% secara
year on year (YoY), dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Menanggapi hal ini, Deputi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan, Oni Marbun menyebutkan hingga September 2024, BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sekitar 40 ribu lebih pekerja ter PHK dengan total nominal mencapai Rp 289,96 miliar. Nominal tersebut meningkat 14% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya.
"Hingga September 2024, untuk penerima manfaat JKP meningkat 14% atau sebanyak 23.545 pekerja lebih banyak dibandingkan September 2023," kata Oni kepada KONTAN, Selasa (29/10).
Baca Juga: BPJS Ketenagakerjaan Kelapa Gading Sosialisasikan Manfaat Aplikasi JMO ke Peserta Sedangkan untuk klaim Jaminan Hari Tua (JHT), Oni bilang, BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan manfaat JHT kepada lebih dari 2,3 juta pekerja dengan nominal Rp 35,6 triliun. Angka ini turun sebesar 15 % jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. "Dari total kasus klaim JHT tersebut, sebesar 29% atau 693,6 ribu penerima manfaat merupakan pekerja terkena dampak PHK, dan sisanya karena mengundurkan diri," ungkapnya. Dengan kondisi tersebut, ditambah perekonomian global dan nasional yang masih mengalami volatilitas luar biasa, ia mengatakan bahwa BPJS Ketenagakerjaan terus berkomitmen untuk mengelola JHT dan JKP secara profesional, hati-hati, dan sesuai aturan yang berlaku. "Kami mengelola dengan prinsip
liability driven, yang artinya kita tidak hanya mencari
return, tapi kita juga memastikan bahwa klaim dari peserta bisa kita bayarkan," imbuhnya, Untuk mekanismenya, Oni mengatakan bahwa manfaat bagi peserta yang telah terdaftar pada program JKP dan telah memenuhi persyaratan, maka ketika menghadapi PHK dapat memperoleh manfaat berupa uang tunai, manfaat akses informasi pasar kerja, dan manfaat pelatihan kerja. Sementara itu, untuk manfaat program JHT, manfaatnya berupa uang tunai yang besarnya adalah akumulasi dari seluruh iuran yang telah dibayarkan ditambah dengan hasil pengembangannya. Lebih lanjut, dia memprediksi, hingga tahun depan, gelombang PHK kemungkinan masih akan terus berlanjut, maka dari itu pihaknya menyiapkan strategi yang antisipatif dalam mengelola portofolio investasi dengan memperhatikan kondisi likuiditas, solvabilitas, optimasi hasil investasi, dan prinsip kehati-hatian. Oni menyebutkan, hingga September 2024, dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan mencapai sebesar Rp776,80 triliun, yang mana terdiri dari dana kelolaan JHT nilainya sejumlah Rp 484,50 triliun, meningkat 9,97% dari September tahun lalu. Kemudian JKP yang mencapai Rp 14,05 triliun. Angka ini naik 36,78% jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu. Kemudian, jumlah dana kelolaan tersebut juga terdiri dari Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) senilai Rp 65,44 triliun, naik 14,63% secara
year on year (YoY). Lalu Jaminan Pensiun (JP) sebesar Rp 182,31 triliun, tumbuh 21,38% YoY, diikuti Jaminan Kematian (JKM) sebesar Rp 16,99 triliun naik 6,43% YoY, serta BPJS Rp 13,48 triliun, naik 12,25% YoY.
Baca Juga: BPJamsostek Perlu Subsidi Iuran Bagi Pekerja Informal, Ini Kata Legislator PHK yang Masih Tinggi akan Berdampak pada Dapen JKK dan JKM Selaras dengan hal ini, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, program JKK dan JKM adalah program terbesar yang diikuti oleh masyarakat dalam BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan kepesertaan lainnya tidak terlalu banyak. Oleh karena itu, menurut dia adanya peningkatan PHK yang semakin besar hingga saat iini akan berdampak pada dana kelolaan JKK dan JKM "Untuk itu perlu memang peningkatan jumlah PHK diwaspadai di program JKK dan JKM," kata Timboel, kepada KONTAN, Selasa (29/10). Selain itu, Timboel mengatakan bahwa pekerja formal merupakan peserta terbanyak yang berada di program BPJS Ketenagakerjaan. Namun, ada kepesertaan lainnya yaitu Bukan Penerima upah (informal), Pekerja migran Indonesia, dan pekerja jasa konstruksi. Lebih lanjut, menurut dia adanya peningkatan PHK juga akan menyebabkan berkurangnya peserta sehingga berdampak pada penurunan jumlah iuran. “Iuran yang turun disertai kenaikan klaim kasus menyebabkan rasio klaim meningkat. Dan ini tentunya akan menyebabkan berkurangnya ketahanan dana. Ketahanan dana yang berkurang akan membuat pembayaran klaim terganggu akhirnya pekerja yang nantinya dirugikan,” Ungkapnya. Sedangkan untuk JKP, menurut dia semakin banyak yang ter PHK, maka klaim rasio JKP akan lebih meningkat sehingga berdampak pada ketahanan dana. Timboel juga menilai, saat ini manfaat JKP yang diatur di PP no.37 tahun 2021 masih sangat layak, namun seyogyanya harus direvisi dengan menaikkan manfaat bantuan tunai menjadi 45% dari upah (maksimal 5 juta) selama enam bulan
"Jika manfaat JKP Tersebut direvisi, maka akan membantu pekerja yang ter-PHK dan menjaga daya beli perekonomian di Indonesia," imbuhnya. Timboel berharap, pemerintah pusat dan pemerintah daerah berusaha untuk menekan angka PHK dengan memberikan insentif fiscal, dan segera merevisi kebijakannya sehingga industri nasional bisa bangkit, "Apalagi, selama ini kebijakan impor barang (tekstil, sepatu, dan sebagainyaa) menjadi ancaman bagi industri nasional," tandasnya.
Baca Juga: Pendapatan Iuran BPJS Kesehatan Naik 6,13% Jadi Rp 122,56 Triliun di Kuartal III-2024 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati