PHRI Jakarta Minta Perda Kawasan Tanpa Rokok Tak Ganggu Iklim Usaha Pariwisata



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pengesahan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DKI Jakarta kembali menuai sorotan dari pelaku usaha sektor pariwisata. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta menegaskan dukungannya terhadap kebijakan perlindungan kesehatan masyarakat, namun meminta agar aturan tersebut disusun secara berimbang dan tidak merusak iklim usaha.

Ketua BPD PHRI Jakarta, Sutrisno Iwantono, menyampaikan bahwa sektor perhotelan dan restoran merupakan sektor strategis dan padat karya di Jakarta sehingga kebijakan KTR perlu dirancang secara realistis. 

PHRI mengapresiasi hasil fasilitasi Kementerian Dalam Negeri yang telah mengakomodasi aspirasi pelaku usaha, mulai dari penghapusan larangan penjualan dan pemajangan rokok, hingga pengecualian hotel dan restoran dari perluasan KTR.


“PHRI Jakarta menegaskan bahwa hasil fasilitasi Kemendagri tersebut harus dikunci dan tidak boleh diperketat kembali dalam pembahasan maupun implementasi Perda,” kata Sutrisno saat dihubungi Kontan, Selasa (30/12/2025).

Baca Juga: PHRI Nilai Usulan WFA Akhir Tahun Jadi Angin Segar Industri Pariwisata

PHRI memandang, hotel dan restoran tak bisa disamakan dengan ruang publik pasif lantaran memiliki karakter layanan, segmentasi tamu, serta standar internasional. 

Dus, keberadaan smoking area dinilai PHRI Jakarta masih dibutuhkan, terutama untuk tamu wisatawan dan kegiatan MICE, dengan pengaturan berbasis standar teknis dan pengelolaan, bukan pelarangan total. 

"Regulasi yang terlalu restriktif berisiko menurunkan daya saing Jakarta dibanding kota tujuan wisata lain seperti Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, dan Bali,” tambah Sutrisno.

Oleh sebab itu, PHRI menolak kebijakan KTR yang berpotensi mengganggu operasional hotel dan restoran, menurunkan tingkat hunian dan konsumsi, serta menciptakan ketidakpastian hukum bagi investor. 

Walau demikian, Sutrisno menekankan, PHRI Jakarta tetap siap untuk berkolaborasi dengan DPRD dan Pemprov DKI Jakarta guna mewujudkan Perda KTR yang adil dan implementatif, namun dengan tanpa mengorbankan sektor pariwisata sebagai tulang punggung ekonomi Jakarta.

Baca Juga: Bisnis Macet, PHRI Menanti Langkah Konkret Pemerintah Respons Demo

Soal ini, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha (LKPU) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Ditha Wiradiputra menilai, Ranperda KTR perlu memberikan kejelasan arah kebijakan pemerintah, terutama dalam menimbang efektivitas aturan dan dampak ekonomi yang ditimbulkan. 

Meski begitu, PHRI menurutnya tak perlu begitu cemas, karena pada praktiknya pengaturan rokok di hotel dan restoran selama ini relatif lebih longgar dan tidak akan disasar terlalu jauh.

Lebih lanjut Ditha menekankan, dari perspektif kebijakan publik, setiap kebijakan harus diambil sebesar-besarnya untuk kepentingan publik, sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan dampak kebijakan secara seksama. 

Ia juga menyoroti praktik terbaik penerapan KTR di negara seperti Singapura, yang dinilai konsisten dalam penegakan aturan. “Perlu ada road map yang jelas mengenai KTR yang penyusunannya melibatkan setiap stake holder yangg terkait, sehingga ada kesiapan untuk penerapan dan memperhatikan dampak dari kebijakan,” ucapnya.

Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, Ranperda KTR DKI Jakarta pada prinsipnya merupakan kebijakan yang adil dan masuk akal jika dilaksanakan dengan konsisten. 

Baca Juga: Hotel Sambut Nataru 2025/2026 dengan Optimisme, Meski Okupansi Masih Tertekan

Menurutnya, pelarangan merokok perlu dijalankan secara paralel dengan penyediaan tempat merokok yang representatif di berbagai fasilitas umum.

Wijayanto melihat, kekhawatiran PHRI terhadap dampak ke sektor pariwisata tergolong realistis, terutama jika penyediaan area merokok tidak dijalankan secara konsisten. 

Namun dia mengingatkan, penerapan KTR yang terlalu ketat dapat berdampak signifikan terhadap penerimaan negara. “Saat ini, sekitar 70% dari sales rokok menjadi penerimaan pemerintah dalam bentuk cukai, PPN dan PPH,” sebutnya.

Sebaliknya, kebijakan yang terlalu longgar juga kata Wijayanto berisiko menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat.

Menurut Wijayanto, praktik terbaik penerapan KTR adalah kebijakan yang dijalankan secara gradual dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, tenaga kerja, dan penerimaan negara secara seimbang dan proporsional.

Baca Juga: Strategi Vasaka Hotel Hadapi Lonjakan Liburan Natal dan Tahun Baru 2025

Selanjutnya: Risalah Terakhir The Fed 2025 Ungkap Perpecahan Arah Kebijakan Suku Bunga

Menarik Dibaca: Hujan Sangat Deras Guyur Provinsi Ini, Cek Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok (31/12)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News