Picu pengusaha bangun smelter, tarif BK jadi 7,5%



JAKARTA. Melalui berbagai pembahasan, pemerintah akhirnya menurunkan tarif bea keluar mineral menjadi 7,5%. Ini dilakukan pemerintah agar pengusaha mau menanamkan investasinya untuk mendirikan smelter. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153/PMK.11/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar membuat tiga kelompok bea keluar yang berdasar pada kemajuan pembangunan smelter.

Pertama, kemajuan pembangunan hingga 7,5%, maka tarif bea keluar adalah sebesar 7,5%. Tarif tersebut sudah memperhitungkan penempatan jaminan kesungguhan. Kedua, progres pembangunan smelter yang melebihi 7,5% hingga 30%, dikenakan tarif bea keluar sebesar 5%. Ketiga, apabila tingkat kemajuan smelter lebih dari 30%, maka tarif bea keluar yang dikenakan sebesar 0%. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto mengatakan dengan PMK yang telah diterbitkan pada awal Juli lalu sudah ada beberapa persetujuan ekspor yang diterbitkan. Ini artinya kebijakan penurunan tarif menjadi efektif untuk menarik minat pengusaha membangun smelter. Ia bilang hingga saat ini ekspor mineral mentah olahan telah dilakukan oleh PT Smelting, PT Lumbung Mineral Santosa, PT Sebuku Iron Lateritic Ore, dan PT Freeport. "Mudah-mudahan yang lain segera menyusul," ujar Andin ketika dihubungi KONTAN, Senin (25/8). Sekedar mengingatkan, pemerintah sebelumnya menetapkan kisaran tarif bea keluar antara 20%-60% yang kenaikannya dilakukan secara bertahap hingga akhir tahun 2016. Aturan tersebut tetap berlaku namun hanya bagi perusahaan yang tidak membangun smelter. Sedangkan bagi mereka yang membangun smelter dikenakan tarif bea keluar 7,5%. Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) Natsir Mansyur menyambut positif penurunan tarif bea keluar tersebut. Tarif 7,5% dianggap level yang realistis bagi perusahaan untuk bisa membangun smelter. Apabila bagi pemerintah diuntungkan dengan pembangunan smelter, maka bagi perusahaan diuntungkan dengan kembalinya ekspor mineral mentah olahan. "Ini menggairahkan kembali bisnis pertambangan," tandas Natsir. Satu hal yang menurut Natsir perlu dihapus adalah jaminan kesungguhan. Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menghapus syarat jaminan kesungguhan. Apabila pemerintah ingin melihat kesungguhan pembangunan, maka dapat menggunakan surat perizinan. Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang dimiliki perusahaan dapat dicabut apabila smelter yang dibangun tidak jalan. Ia beranggapan uang jaminan kesungguhan hanya disimpan saja dan tidak berproses, sementara pihak pengusaha butuh uang tersebut untuk membangun smelter. Kepala Ekonom BII Juniman menilai langkah menurunkan tarif bea keluar adalah jalan tengah yang diambil pemerintah. Pemerintah perlu mengalah untuk mencari jalan keluar agar ekspor Indonesia tidak tertekan. Juniman memperkirakan akan ada tambahan ekspor hingga US$ 1,2 miliar-US$ 2 miliar hingga akhir tahun dari kembali aktifnya ekspor mineral mentah. Dengan aktifnya ekspor mineral, pemerintah pun bisa mendapatkan devisa.  

Adapun, Menteri Keuangan Chatib Basri sebelumnya menjelaskan akan ada tambahan penerimaan ekspor sebesar US$ 5 miliar dari ekspor konsentrat. Tambahan ini akan membantu mengecilkan defisit transaksi berjalan. Apabila sebelumnya tanpa ada ekspor mineral dirinya memperkirakan defisit transaksi berjalan hingga akhir tahun 2014 akan sebesar US$ 26 miliar-US$ 27 miliar, maka dengan ekspor mineral defisit bisa mengempis menjadi US$ 23 miliar-US$ 24 miliar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan