KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kemarin, sejumlah daerah di Indonesia menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada). Bertepatan dengan penyelenggaraan pilkada, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah. Pada hari yang sama, IHSG turun 0,65% ke level 5.787,55. Cuma, jangan buru-buru menyimpulkan penurunan indeks ini terjadi lantaran pilkada. Pelemahan indeks sejalan dengan melemahnya mayoritas bursa di Asia. "Penurunan yang terjadi lebih karena
net sell asing, akibat sentimen ketidakpastian global," ujar
Head of Research Mirae Asset Sekuritas Indonesia Taye Shim, Rabu (27/6).
Memang, sih, pelaksanaan pilkada juga ikut mempengaruhi pergerakan IHSG. Ekonom Bank Central Asia David Sumual berpendapat, politik dan ekonomi saat ini merupakan hal yang sulit dipisahkan. Cuma, pengaruh pilkada terhadap pasar saham tak signifikan. Pelaku pasar sudah lebih dulu mengantisipasi isu-isu politik. "Yang penting bagi investor, pilkada berlangsung lancar dan aman," ujar David. Pelaku pasar juga menjadikan hasil pilkada tahun ini untuk memetakan politik Indonesia menjelang pelaksanaan pemilihan umum presiden (pilpres) tahun depan. Hasil dari pilpres nanti berpotensi mempengaruhi pergerakan indeks saham. Sebab, menurut David, pelaku pasar akan mencermati kemungkinan terjadinya perubahan aturan bila ternyata terjadi pergantian kepemimpinan. "Pelaku pasar tetap mencermati potensi adanya perubahan kebijakan yang drastis setelah pergantian kepemimpinan," imbuh David. Pelaku pasar akan lebih suka bila kebijakan pemerintah saat ini berlanjut. Euforia politik Pasar akan bergerak positif apabila calon yang
market friendly berpotensi memenangi pilpres. Ini terlihat dari pergerakan IHSG menjelang pilpres pasca lengsernya Soeharto dari posisi presiden. Saat pemilu pertama pasca reformasi, IHSG melonjak 17%. Pada pemilihan presiden terakhir, 2014 lalu, pasar saham juga melesat tajam akibat Jokowi
effect. IHSG sempat melompat 17% di tiga bulan pertama kepemimpinan Joko Widodo. Dalam setahun, saat itu IHSG naik lebih dari 20%, tertinggi keempat di dunia. Nah, bila menilik hasil
quick count pilkada tahun ini, pelaku pasar masih memprediksi Jokowi berpeluang kembali memenangi pilpres tahun depan. Pasalnya, rasio kemenangan partai politik pendukung Jokowi dalam pilkada tahun ini cukup besar. Di Jawa Barat misalnya. Pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum, yang diusung oleh PPP, PKB, Hanura dan NasDem menang versi
quick count. PKB, Hanura dan NasDem termasuk parpol pendukung Jokowi. Tapi David menilai, hasil pilkada saat ini tidak cukup kuat untuk dijadikan tolok ukur utama calon presiden mana yang bakal dominan di 2019. Sebab, ada beberapa daerah yang menurut David hasil kemenangannya bias.
Wilayah Jawa Timur misalnya. Partai pengusung Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak mayoritas adalah koalisi Jokowi. Tapi, pasangan tersebut juga didukung oleh PAN, yang justru menjadi oposisi Jokowi saat ini. Cuma, sentimen politik tidak akan berpengaruh lama ke pasar. "Tapi, itu semua sifatnya hanya jangka pendek," tulis Erwan Teguh, analis CGS-CIMB Sekuritas Indonesia, dalam riset 19 Juni. Menurut hitungan dia, rata-rata rentang waktu sentimen pemilu berpengaruh ke pasar hanya berkisar tiga bulan. Selepas itu, IHSG kembali pada kondisi riil. Pelaku pasar akan kembali fokus pada kinerja emiten. Kinerja emiten ini akan bergantung pada kondisi makroekonomi. "Sejak 2017, kinerja emiten cenderung menguat. Kami memperkirakan, hal ini akan berlanjut di tahun ini," jelas Erwan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati