Pilpres dan saham



Apa yang sama antara saham dan presiden? Salah satunya, sama-sama harus memilih. Pelaku pasar perlu memilih mau membeli atau menjual saham yang mana. Masyarakat, ketika menghadapi pemilu, juga dihadapkan pada hal yang sama, harus memilih calon presiden dan wakil presiden mana yang ia harapkan bisa memimpin negara ini dengan baik untuk periode lima tahun ke depan.

Ada faktor psikologi yang sama-sama mempengaruhi pelaku pasar dan pemilih dalam memilih saham atau presidennya. Dalam kajian keuangan berbasis perilaku (behavioral finance), dikenal istilah confirmation bias, yang mempengaruhi cara seseorang dalam berpikir dan menganalisa.

Confirmation bias terjadi di pasar saham ketika pelaku pasar terlanjur menyukai sebuah saham atau perusahaan, sehingga akan memilih informasi yang diterima. Ketika ada berita positif atau baik terkait perusahaan atau saham tersebut, dia cenderung menganggap informasi tadi relevan dan akurat, sehingga akan meningkatkan keyakinannya terhadap prospek perusahaan atau saham tersebut.


Dengan demikian, ketika harga saham perusahaan tersebut naik seiring berita positif yang muncul tadi, pelaku pasar akan sangat senang. Kondisi ini meningkatkan kecintaannya pada saham tersebut.

Begitu pula sebaliknya. Tetapi ketika ada berita negatif terkait saham atau perusahaan tersebut, dia cenderung mengabaikannya. Bahkan, si pelaku pasar bisa jadi menganggap informasi tersebut tidak relevan atau tidak akurat. Ketika terjadi penurunan pada harga saham perusahaan tersebut, pelaku pasar cenderung menahan saham tersebut dan tetap yakin saham perusahaan yang dibeli adalah bagus.

Pelaku pasar tersebut sudah terlanjur jatuh cinta sehingga membela perusahaan tersebut. Menganggap perusahaan masih punya prospek dan kerugian investasi hanya akan terjadi sementara dan potensi saham tersebut masih baik, biarpun pada kenyataanya keadaan tidak sesuai yang diharapkan.

Pada kasus pelaku pasar sudah terlanjur membenci sebuah perusahaan, maka yang terjadi adalah kebalikannya. Ketika seorang pelaku pasar sudah terlanjur kecewa dan membenci sebuah saham perusahaan, semua informasi negatif sebuah perusahaan cenderung segera diterima dan dianggap sebagai informasi relevan dan akurat. Oleh karena itu, ketika informasi negatif tersebut terkonfirmasi dengan penurunan harga saham perusahaan, keyakinan pelaku pasar tersebut bahwa perusahaan tersebut jelek semakin besar.

Tetapi ketika ada informasi positif tentang prospek perusahaan, pelaku pasar tadi justru cenderung akan mengabaikan atau menolak informasi tadi. Padahal, tidak selamanya sebuah perusahaan memiliki kinerja jelek dan tidak mempunyai prospek.

Ketika suatu perusahaan melakukan restrukturisasi, mengganti jajaran manajemen atau merilis produk baru, seringkali tindakan yang dilakukan tadi akan mengubah prospek sebuah perusahaan. Ketika pelaku pasar mengalami bias konfirmasi dan tetap percaya bahwa perusahaan tersebut jelek, si pelaku pasar akan melewatkan kesempatan mendapatkan keuntungan dari perusahaan yang terlanjur dia benci.

Rasa senang berlebih terhadap sebuah saham perusahaan seringkali terjadi karena pengalaman pelaku pasar yang baik terhadap perusahaan tersebut. Itu dapat terjadi karena pernah mendapatkan keuntungan, membaca banyak berita positif, kenal dengan jajaran manajemen dan lain-lain.

Sedangkan rasa membenci atau marah terhadap sebuah perusahaan terjadi karena pernah dibuat kecewa oleh perusahaan atau saham tersebut, baik karena mengalami kerugian transaksi, produk perusahaan dipakai tidak sesuai harapan atau juga karena layanan perusahaan yang mengecewakan. Perasaan-perasaan ini menyebabkan bias konfirmasi, sehingga mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pelaku pasar dalam melakukan transaksi sebuah saham.

Bias konfirmasi bukan hanya terjadi di pasar saham, tetapi juga pada pemilihan presiden, pada saat pemilu. Saling dukung serta saling serang antar pendukung kedua kubu calon presiden yang bertanding ramai terjadi.

Adalah sangat sulit mengubah keyakinan pemilih yang sudah telanjur jatuh hati pada salah satu pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Terjadi bias konfirmasi seperti di pasar saham, di mana ketika seseorang mendukung pasangan nomor tertentu maka semua informasi positif soal calon itu akan dianggap benar. Informasi positif tersebut cenderung meningkatkan keyakinan akan pilihannya.

Sedangkan informasi negatif terkait pasangan yang didukung cenderung dianggap tidak relevan dan akurat, bahkan dianggap hoaks. Informasi tersebut langsung ditolak dan tidak dianalisa lebih lanjut, sehingga tidak mengubah keyakinannya.

Tetapi informasi negatif terhadap pasangan capres cawapres pesaing segera dianggap informasi yang relevan dan akurat. Tanpa berusaha mencari kebenaran dan keakuratan informasi, sehingga analisa yang relevan dan benar tidak didapatkan. Informasi negatif terhadap calon presiden tersebut mendorong keyakinan pada pilihan pemilih.

Tetapi ketika ada informasi yang baik terhadap calon presiden pesaing, segera informasi tersebut dianggap informasi yang manipulatif atau berbohong. Tanpa mencari kebenaran informasi, pemilih segera menolak informasi tersebut.

Bias konfirmasi pada titik tertentu membuat seorang pemilih cenderung melakukan perang di media sosial. Pemilih cenderung memuji-muji calon presiden pilihannya dan menyerang calon presiden pesaingnya. Seringkali serangan tersebut menjurus sesuatu yang tidak etis dan melanggar hukum. Menjelang pemilihan presiden, media sosial menjadi ajang permusuhan, sehingga antarteman bahkan saudara menjadi musuh akibat perbedaan pilihan.

Ketika pemilu selesai dan salah satu calon terpilih, ternyata bias konfirmasi masih terjadi di antara para pemilih. Pemilih tetap fanatik dengan calon yang didukung, sehingga hasil positif presiden terpilih akan direspons sangat berbeda.

Pemilih yang mendukung presiden akan menganggap hasil positif tersebut sebagai konfirmasi bahwa yang dipilihnya sudah benar. Sedangkan bagi pemilih yang tidak mendukung cenderung menganalisa pencapaian positif tersebut dengan negatif. Dicari berbagai kelemahan atau kekurangan dari pencapaian positif tersebut.

Fenomena yang sama juga terjadi di pasar saham, di mana sering dijumpai di diskusi saham, baik di group atau media sosial, seorang pelaku pasar sangat mengidolakan sebuah saham perusahaan. Orang yang memberi tanggapan atau pendapat yang sama cenderung dianggap teman, sedangkan pelaku pasar yang memberikan berita, informasi atau pendapat negatif malah dianggap musuh. Pelaku pasar tersebut kadang tidak sungkan menyerang pendapat pelaku pasar lain yang berbeda tadi.

Kalau pelaku pasar bisa menghilangkan bias konfirmasi dalam membuat keputusan investasi atau trading, tentunya hal ini akan meningkatkan hasil transaksinya. Dengan berpikir jernih tanpa terpengaruh perasaan masa lalu, tentu sebuah informasi akan bisa dianalisa dan diolah untuk mendapatkan hasil terbaik.

Mengharapkan hal ini memang seperti berharap para pemilih calon presiden yang terlanjur fanatik bisa menghilangkan bias konfirmasi dan menganalisa informasi secara benar. Jadi pelaku pasar dan pemilih perlu berpikir jernih dalam mengambil pilihan.♦

Yohanis Hans Kwee Praktisi Pasar Modal

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi