Pimpinan Pantai Gading membantah menyerah setelah kediamannya dikepung



ABIDJAN. Suhu konflik politik di Pantai Gading kian memanas. Rumor yang beredar, Pimpinan Pantai Gading Laurent Gbagbo memutuskan untuk menyerah setelah pasukan militer mengepung kediamannya di Abidjan. Namun, rumor tersebut dibantah oleh Gbagbo. Melalui sambungan telepon dari bunkernya, Gbagbo mengatakan, pihak militer hanya melakukan negosiasi dengannya. Dia juga bersikeras menjadi pemenang dalam pemilihan umum yang digelar pada November lalu."Saya memenangkan pemilu dan saya tidak akan mengundurkan diri," kata Gbagbo. Pernyataan Gbagbo sangat kontras dengan pernyataan Juru Bicaranya Ahoua Don Mello yang menyatakan ada negosiasi langsung berdasarkan rekomendasi Uni Afrika yang menegaskan bahwa Alassane Ouattara adalah presiden yang sah. Terkait konflik yang terjadi di negaranya, Gbagbo menuding Prancis yang menjadi biang kerok. "Saya tidak mengerti bagaimana mungkin konflik di Pantai Gading menyebabkan intervensi langsung dari pasukan Prancis," ujar Gbagbo. Asal tahu saja, pasukan militer yang loyal atas pesaingnya yang dinyatakan menang pada pemilu lalu, Alassane Ouattara, menyerbu Abidjan pada minggu ini. Meski begitu, kota tersebut sangat sepi tanpa ada ada serangan senjata dari kedua belah pihak. Namun, para penduduk yang berjumlah 4 juta orang di kota tersebut memilih untuk tetap tinggal di rumah setelah helikopter milik pasukan PBB dan Prancis menyerang pasukan militer Gbagbo. Memang, kekuatan militer asing sudah ikut campur dalam menekan Gbagbo untuk lengser. Bahkan Presiden AS Barack Obama mengatakan, kekerasan sebenarnya dapat dihindari jika Gbagbo menghormati hasil pemilu. Adapun Menteri Luar Negeri Prancis Alain Juppe mengatakan, satu-satunya negosiasi yang tersisa saat ini hanyalah pengunduran diri Gbagbo. Sementara itu, untuk menekan secara psikis sang pemimpin yang keras kepala dan aliansinya, stasiun televisi pro Ouattara TCI memutar film Downfall, yang menceritakan tentang hari-hari terakhir Adolf Hitler di bunkernya di Berlin.


Editor: Barratut Taqiyyah Rafie