PINA gairahkan bisnis underwriting



DENPASAR. Pemerintah punya skema Pembiayaan Investasi Non-Anggaran Pemerintah (PINA) guna menutup gap antara besarnya modal dengan potensi return sebuah proyek.

"Adanya PINA juga membuka peluang lebih lebar bagi industri underwriting di Indonesia," kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro akhir pekan lalu.

Ia menjelaskan, dalam PINA ada tiga kondisi proyek yang dibagi. Pertama, proyek masih dalam tahap awal eksekusi (green field), proyek yang sudah mulai terlihat pengerjaannya (brown field) dan proyek yang memang sudah beroperasi (operation).


Nah, para underwriter sudah bisa turut serta mulai dari fase green field hingga brown field. Sebab, pada dua fase itu ada sejumlah aksi korporasi yang bisa dikawal oleh para underwriter.

Pada fase green field, ada sejumlah skema sumber pendanaan. Skema equity financing, RDPT, MTN, dan obligasi menjadi lahan bagi para underwriter.

Demikian pula pada fase brown field, underwriter bisa membantu perusahaan untuk menerbitkan convertible loan, MTN dan obligasi. Sehingga, ini bisa menambah pemasukan underwriter lebih besar.

Sejatinya, masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan underwriter bahkan saat proyek PINA sudah masuk tahap operasi. Saat fase ini, badan usaha pemilik proyek itu bakal berekspansi.

Bisa saja mereka akan IPO. Atau minimal, perusahaan terebut merilis obligasi atau convertible loan yang semuanya menjadi spesialisasi underwriter.

Tapi, tak bisa dipungkiri, aksi korporasi tersebut bakal dilahap oleh underwriter pelat merah. Karena proyek PINA pasti merupakan proyek yang di inisiasi pemerintah.

Oleh sebab itu, underwriter swasta juga perlu pantang menyerah dan memperkuat fundamentalnya supaya bisa memperoleh jatah proyek tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini