Pada Pidato Kenegaraan menjelang HUT RI ke-74, tepatnya pada Jumat (16/8) lalu di hadapan anggota DPR/MPR Senayan, Presiden Joko Widodo(Jokowi) menegaskan keseriusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pernah mengkalkulasi dan mengkaji skema pendanaan. Bappenas kabarnya telah mengajukan usulan anggaran Rp 1,5triliun kepada Komisi XI DPR dalam rangka persiapan pemindahan ibu kota. Rencananya dana itu akan digunakan untuk harmonisasi dan simplikasi aturan, mendorong pembiayaan infrastruktur non APBN, hingga menyusun aksi satu data nasional. Terakhir, rencana pemindahan ibukota sudah dibahas secara detail bersama Presiden Republik Indonesia Joko Widodo di Istana Negara.Bahkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang beribu kota Palangkaraya, telah mempersiapkan lahan seluas 300.000 hektare (ha). Ide dan wacana pemindahan ibu kota ke Palangkaraya jelas bukan hal baru, karena zaman Presiden Soekarno di sekitar tahun 1950-an, juga mengutarakan keinginan yang sama. Alasannya karena kota Palangkaraya berada di belah garis khatulistiwa dan secara geografis dapat dikatakan sebagai titik tengahnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penyebab utama wacana pemindahan ibu kota tak lain mengingat kesemrawutan Jakarta yang terkesan sangat sentralistik, tak hanya soal politik-kekuasaan, namun juga sentralisme ekonomi dan sosial dalam bentuk pemadatan penduduk dan lingkungan yang sudah tak karuan. Jika berkaca di negara-negara lain, misalnya Malaysia yang telah memisahkan pusat pemerintahan di Putra Jaya dan pusat bisnis komersial di Kuala Lumpur. Begitu juga dengan Australia telah memindahkan ibu kota dari Sydney ke Canberra, Amerika Serikat (AS) dari New York ke Washington DC, Jepang dari Kyoto ke Tokyo, Jerman dari Bonn ke Berlin, dan Brasil dari Rio de Janeiroke Brasilia. Pada 2004, Pemerintah Korea Selatan juga mengumumkan pembangunan kota di wilayah Gongju-Yongi, yang dipersiapkan menjadi ibu kota negara pada2020 menggantikan Seoul. Sebelum pemindahan ibu kota, pernah juga diutarakan konsep Megapolitan, yakni konsep yang dimaksudkan agar dapat mempercantik dan memperluas wajah ibukota Jakarta.Implementasi konsep ini oleh sebagian kalangan sangat diperlukan, sebagai konsekuensinya pemerintah harus menambah satu kementerian khusus, yaitu kementerian ibukota. Jika konsep Megapolitan dalam rangka merespon konsep ibukota yang semrawut, maka hal ini tidaklah akan berhasil. Mestinya konsep Megapolitan memberi kesadaran bahwa pemindahan ibu kota supaya tidak terjadi sentralisasi adalah suatu keharusan, bukannya memperluas Jakarta dari Jabotabek menjadi Jabodetabek ditambah kawasan Puncak dan Cianjur (Punjur). Sebaliknya, sebagai akibat sentralisasi, sesungguhnya tidaklah cukup memberi otonomi daerah yang luas kepada daerah-daerah dalam rangka untuk mengembangkan konsep
develop mentalism dan kesejahteraan. Karena Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah bukanlah substansi untuk terjadinya , sebab pada kenyataannya orang masih berbondong-bondong untuk mengais rezeki di pusat ibu kota. Ibu kota pendamping Jika sentralisme kependudukan itu terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan terjadi ledakan besar (
new baby boomers) di pusat ibukota. Hal ini sebetulnya sudah diingatkan oleh sosiolog seperti Francis Fukuyama(1999). Risiko
new baby boomers antara lain, terjadinya disparitas sosial,banyak kasus-kasus kejahatan, laju penduduk semakin padat, ketidak-menentuan ekonomi berupa pengangguran yang membludak, ketidakseimbangan sosiologis, dan sebagainya. Menurut Fukuyama, AS pernah mengalami
new baby boomers pada dekade 1950-an hingga akhir dekade 1970-an. Untuk meminimalisir fenomena itu,pemerintah AS melakukan kebijakan strategis, yaitu membuat regulasi penduduk ke daerah-daerah negara bagian, dan pemerintah berkewajiban memberi banyak intensif dan keistimewaan bagi setiap warga yang mau pindah dari pusat ekonomi dan kekuasaan ke daerah-daerah yang masih sepi penduduk. Walhasil, kebijakan pemerintah AS menuai sukses besar, yakni terhitung semenjak dekade 1980- an regulasi kependudukan relatif menjadi setara dan terjadi kesejahteraan yang merata. Konsep pemindahan ibukota mestinya berorientasi seperti ini dan janganlah dilihat dari kaca mata yang sempit dan penuh kekhawatiran, akan tetapi hal itu merupakan tantangan dan harus dilihat dengan pemikiran jangka panjang demi masa depan dan kepentingan Indonesia itu sendiri. Konsep ini bertujuan karena Indonesia bagaimanapun memerlukan kesetaraan dan pemerataan kesejahteraan di daerah. Jika konsep pemindahan ibu kota sangat memberatkan, maka sesungguhnya ada dua opsi yang harus ditawarkan. Pertama, konsep pemindahan ibukota tidak permanen, artinya ibu kota di pindah secara bergilir setiap beberapa dekade pemerintahan. Kedua, adanya ibu kota pendamping, artinya selain Jakarta juga harus ada pendamping ibu kota di daerah-daerah, dan fungsi ibu kota pendamping ini dimaksudkan supaya terjadi regulasi mekanisme pemerintahan agar tidak terlalu sentralistis hanya di Jakarta saja. Dari opsi-opsi yang ada, nampaknya yang paling memungkinkan bahwa Indonesia memerlukan ibu kota pendamping. Jadi, selain Jakarta sebagaibasis ibu kota juga harus ada pendamping ibu kota yang dibentuk di daerah. Dalam jangka waktu beberapa dekade pemerintahan,daerah-daerah tertentu dapat menjadi ibu kota pendamping, dan terus berjalan secara bergilir hingga daerah sebelumnya merasakan kesejahteraannya. Maksudnya secara administratif dan struktural, Jakarta tetap sebagai basis, namun dalam hal-hal yang berkaitan fisik pemerintahan, ibukota dapat berpindah secara bergilir.
Fungsi pendamping ibukota antara lain, misalnya dapat digunakan bagi "rumah baru" pemerintah, menjadi rumah untuk menerima tamu dari pemimpin dan diplomat negara-negara lain. Selain itu, fungsi ini dapat menjadi simbol perekat keutuhan konsep ke-Indonesia-an dan fungsi ini dapat digunakan sebagai lokasi strategis bagi penyusunan konsep negara kesejahteraan yang merata. Sebab selama ini, kinerja pemerintahan baik secara administratif,struktural maupun langkah-langkah strategis terlalu tersentralisasi, sehingga misalnya, pemerintah pusat tidak mengetahui perkembangan mutakhir di daerah. Jika konsep ini dapat teraktualisasi secara kontinyu dan ideal, maka tak mustahil Indonesia dalam dua dekade kemudian sudah merasakan manfaatnya. Tinggal bagaimana langkah pemerintahan Presiden Jokowi dan parlemen merespon hal ini. Jika positif, maka pemerintah harus mendesak parlemen membuat rancangan perundang-undangannya.♦
Ismatillah A. Nu'ad Peneliti Indonesian Institute for Social Research & Dev. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi