JAKARTA. PT Uzin Utz terpaksa harus gigit jari. Untuk ketiga kalinya, majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan PKPU terhadap Nindya Karya. "Menolak permohonan PKPU pemohon," ujar ketua majelis hakim Dwi Sugiarto (18/10). Putusan ini sekaligus mengabulkan eksepsi yang disampaikan oleh Nindya Karya perihal adanya itikad tidak baik dari Uzin. Uzin sudah tiga kali mengajukan permohonan PKPU terhadap Nindya Karya. Menurut pertimbangan majelis, permohonan PKPU diajukan dengan itikad tidak baik. Alasannya, pihak Nindya Karya sudah membuktikan mampu membayar utang seluruhnya. Dengan demikian, rencana perdamaian sudah tidak diperlukan lagi. Menurut keterangan majelis dalam pertimbangannya, tujuan dibentuknya Undang-undang Kepailitan dan PKPU adalah agar utang yang dimiliki oleh debitur dapat terbayar atau terlunasi. Undang-undang no.37 tahun 2004 ini pun mengatur dua hal pokok. Pertama mengenai kepailitan di mana utang dapat dicairkan apabila debitur tidak mampu membayar. Kedua, mengenai PKPU yang bertujuan untuk mencapai perdamaian antara debitur dengan kreditur melalui upaya restrukturisasi atau pembayaran dengan mencicil. Unsur yang perlu digarisbawahi dalam undang-undang ini adalah unsur debitur tidak mampu membayar utang. Hal ini sangat jelas disebutkan dalam pasal 222 ayat 3. Artinya, jika debitur tidak mampu membayar utang, barulah kreditur bisa mengajukan upaya PKPU. Nindya Karya sudah siapkan pembayaran utang Sementara pasal 222 ayat 1 undang-undang kepailitan menyatakan jiwa atau roh PKPU adalah kepentingan debitur dan kreditur mencapai perdamaian. Nindya Karya selaku debitur telah mempersiapkan pembayaran utang sebelum PKPU pertama diajukan, yaitu tanggal 1 Agustus 2013. Demikian juga ketika majelis menyatakan tidak menerima permohonan PKPU pertama. Nindya karya sudah mengajukan pembayaran dengan cash atau tunai. Dengan demikian permohonan yang diajukan oleh Uzin sudah tidak sesuai dengan roh, jiwa, atau prinsip PKPU. Majelis menganggap pengajuan PKPU ini tidak wajar.
PKPU ketiga Nindya Karya ditolak PN Jakarta Pusat
JAKARTA. PT Uzin Utz terpaksa harus gigit jari. Untuk ketiga kalinya, majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan PKPU terhadap Nindya Karya. "Menolak permohonan PKPU pemohon," ujar ketua majelis hakim Dwi Sugiarto (18/10). Putusan ini sekaligus mengabulkan eksepsi yang disampaikan oleh Nindya Karya perihal adanya itikad tidak baik dari Uzin. Uzin sudah tiga kali mengajukan permohonan PKPU terhadap Nindya Karya. Menurut pertimbangan majelis, permohonan PKPU diajukan dengan itikad tidak baik. Alasannya, pihak Nindya Karya sudah membuktikan mampu membayar utang seluruhnya. Dengan demikian, rencana perdamaian sudah tidak diperlukan lagi. Menurut keterangan majelis dalam pertimbangannya, tujuan dibentuknya Undang-undang Kepailitan dan PKPU adalah agar utang yang dimiliki oleh debitur dapat terbayar atau terlunasi. Undang-undang no.37 tahun 2004 ini pun mengatur dua hal pokok. Pertama mengenai kepailitan di mana utang dapat dicairkan apabila debitur tidak mampu membayar. Kedua, mengenai PKPU yang bertujuan untuk mencapai perdamaian antara debitur dengan kreditur melalui upaya restrukturisasi atau pembayaran dengan mencicil. Unsur yang perlu digarisbawahi dalam undang-undang ini adalah unsur debitur tidak mampu membayar utang. Hal ini sangat jelas disebutkan dalam pasal 222 ayat 3. Artinya, jika debitur tidak mampu membayar utang, barulah kreditur bisa mengajukan upaya PKPU. Nindya Karya sudah siapkan pembayaran utang Sementara pasal 222 ayat 1 undang-undang kepailitan menyatakan jiwa atau roh PKPU adalah kepentingan debitur dan kreditur mencapai perdamaian. Nindya Karya selaku debitur telah mempersiapkan pembayaran utang sebelum PKPU pertama diajukan, yaitu tanggal 1 Agustus 2013. Demikian juga ketika majelis menyatakan tidak menerima permohonan PKPU pertama. Nindya karya sudah mengajukan pembayaran dengan cash atau tunai. Dengan demikian permohonan yang diajukan oleh Uzin sudah tidak sesuai dengan roh, jiwa, atau prinsip PKPU. Majelis menganggap pengajuan PKPU ini tidak wajar.