JAKARTA. Anggota Komisi VIII dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Raihan Iskandar mengatakan, fraksinya menginginkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap terlibat dalam sertifikasi produk halal. Alasannya karena MUI yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa untuk menetapkan suatu produk halal atau tidak. "Kami juga ingin menyertakan MUI. Kan hak-hal fatwa kan ada di dia. Ini memang sedang mencari bentuk sih. Kita belum mutusin, baru Selasa besok. Nanti kita lihat yg lebih maslahatnya dimana," kata Raihan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (27/2/2014) sore. Akan tetapi, lanjutnya, MUI harus bisa membangun kepercayaan mengenai sertifikasi produk halal ini sehingga tak menimbulkan persoalan. "Pada dasarnya selama ada lembaga yang dipercaya, bentuknya independen. Kalau di Kemenag ini kan boleh dikatakan kalau isu yang berkembang sekarang kan agak kurang sehat. Artinya selalu dibahasakan kalau pemerintah ini masyarakat agak kurang percaya. Tapi kalau pemerintah bisa membenahi diri dan bisa membangun sebuah kepercayaan ya pada dasarnya kita juga enggak banyak masalah. Ini kan kita ingin gimana lembaga ini bisa dipercaya, bekerja profesional, itu yang kita harapkan," jelasnya. Belum selesainya pembahasan RUU tentang Jaminan Produk Halal, menurutnya, karena masih ada perdebatan antara DPR dengan pemerintah. Perdebatan itu mengenai, apakah sertifikasi produk halal itu diwajibkan atau bisa dilakukan secara sukarela. "Secara umum sebetulnya sudah tidak banyak masalah ya. Karena masih ada perbedaan pendapat saja dengan pemerintah soal ya apakah ini mandatory atau voluntary. Apakah diwahjibkan untuk semua produk atau sukarela," katanya. Seperti diberitakan, masalah pemberian sertifikasi halal masih menuai sorotan. RUU Jaminan Produk Halal yang diusulkan atas inisiatif DPR sejak 2006 belum juga diselesaikan pembahasannya hingga akhir masa tugas periode 2009-2014. Selain mengatur mengenai tarif dan PNBP, RUU itu juga akan mengatur mengenai lembaga yang akan memberikan sertifikasi halal. Usulan mengenai lembaga inilah yang menciptakan perdebatan panjang di internal Komisi VII maupun dengan pemerintah dan akhirnya RUU tersebut tak kunjung disahkan menjadi undang- undang. (Ihsanuddin)
PKS ingin MUI tetap terlibat di sertifikasi halal
JAKARTA. Anggota Komisi VIII dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Raihan Iskandar mengatakan, fraksinya menginginkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap terlibat dalam sertifikasi produk halal. Alasannya karena MUI yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa untuk menetapkan suatu produk halal atau tidak. "Kami juga ingin menyertakan MUI. Kan hak-hal fatwa kan ada di dia. Ini memang sedang mencari bentuk sih. Kita belum mutusin, baru Selasa besok. Nanti kita lihat yg lebih maslahatnya dimana," kata Raihan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (27/2/2014) sore. Akan tetapi, lanjutnya, MUI harus bisa membangun kepercayaan mengenai sertifikasi produk halal ini sehingga tak menimbulkan persoalan. "Pada dasarnya selama ada lembaga yang dipercaya, bentuknya independen. Kalau di Kemenag ini kan boleh dikatakan kalau isu yang berkembang sekarang kan agak kurang sehat. Artinya selalu dibahasakan kalau pemerintah ini masyarakat agak kurang percaya. Tapi kalau pemerintah bisa membenahi diri dan bisa membangun sebuah kepercayaan ya pada dasarnya kita juga enggak banyak masalah. Ini kan kita ingin gimana lembaga ini bisa dipercaya, bekerja profesional, itu yang kita harapkan," jelasnya. Belum selesainya pembahasan RUU tentang Jaminan Produk Halal, menurutnya, karena masih ada perdebatan antara DPR dengan pemerintah. Perdebatan itu mengenai, apakah sertifikasi produk halal itu diwajibkan atau bisa dilakukan secara sukarela. "Secara umum sebetulnya sudah tidak banyak masalah ya. Karena masih ada perbedaan pendapat saja dengan pemerintah soal ya apakah ini mandatory atau voluntary. Apakah diwahjibkan untuk semua produk atau sukarela," katanya. Seperti diberitakan, masalah pemberian sertifikasi halal masih menuai sorotan. RUU Jaminan Produk Halal yang diusulkan atas inisiatif DPR sejak 2006 belum juga diselesaikan pembahasannya hingga akhir masa tugas periode 2009-2014. Selain mengatur mengenai tarif dan PNBP, RUU itu juga akan mengatur mengenai lembaga yang akan memberikan sertifikasi halal. Usulan mengenai lembaga inilah yang menciptakan perdebatan panjang di internal Komisi VII maupun dengan pemerintah dan akhirnya RUU tersebut tak kunjung disahkan menjadi undang- undang. (Ihsanuddin)