PLN dan Pengusaha Ritel Mulai Saling Ancam



JAKARTA. Rumit bin njlimet. Penerapan program hemat listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di sektor ritel, ternyata tak semulus di sektor industri yang sudah berjalan sejak akhir Juli lalu.

Pengusaha ritel, PLN, dan Departemen Perdagangan (Depdag), hari ini kembali mengadakan pertemuan untuk mencapai titik temu soal sistem hemat listrik. Alih-alih mencapai kata sepakat, PLN dan peritel malah saling ancam. Keduanya sama-sama ngotot soal pemakaian genset.

Surat edaran PLN no. 02233/070/DITJB/2008 yang ditandatangai Direktur PLN wilayah Jawa Bali tertanggal 11 Agustus 2008 ini mengharuskan pelanggan bisnis menggunakan genset sebanyak dua kali seminggu pada pukul 17.00 hingga 22.00.


Peritel mengancam akan menggugat PLN. Pengusaha menilai perusahaan setrum negara ini terlalu memaksakan penggunaan genset pada sektor ritel untuk menghemat energi melalui surat edaran PLN kepada pengusaha.

Direktur Bina Pasar dan Distribusi, Departemen Perdagangan (Depdag), Gunaryo mengaku bahwa masih ada poin yang harus dibahas lagi. Terutama, penggunaan genset yang dikeluhkan asosiasi. "Mereka keberatan. Maka itu saya akan menulis ulang lagi konsep hemat energi ini. Karena pemerintah tidak boleh memaksakan," katanya usai mengadakan pembahasan hemat energi dengan ritel di gedung Depdag, hari ini (19/8) di Jakarta.

Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Stefanus Ridwan, PLN sudah mendahului kesepakatan. "Pembahasan hemat energi saja belum disepakati, tapi kok bisa surat edaran sudah keluar," ujarnya. Maka itu, peritel minta surat itu dibatalkan. "Tindakan PLN mengeluarkan surat ini menjadi tanda tanya besar," tambahnya. Dia lalu bilang,  penghematan yang digembeor-gemborkan menjadi angin lalu saja, lantaran PLN memaksa tetap memakai genset.

Memang, sebelumnya, pengusaha ritel sudah mengeluarkan keberatan ke perusahaan setrum ini sebanyak dua kali, yakni pada Rabu (13/8) dan tadi siang (19/8). Namun, dia mengatakan, PLN hanya mempertimbangkan saja dan ingin tetap menjalankan penggunaan genset pada tanggal 25 Agustus besok.

Maka itu, "Kalau PLN tetap memaksa kita memakai genset, pengusaha akan siapkan tim pengacara," ujar Ridwan. Dia mempertanyakan sikap PLN ini. "Harusnya kalau kita bisa menghemat kan tidak perlu pakai genset, tapi sekarang mereka tetap paksa pakai genset. Jadi ujung-ujungnya apa? Maunya apa? penghematan atau apa?" ujarnya sedikit emosi.

Ridwan lantas memberikan perhitungan biaya pemakaian genset dua kali seminggu pada beban puncak. "Kita tidak sanggup bayar biaya pemakaian genset dua kali seminggu," katanya. Dia mengatakan, biayanya mulai dari ratusan juta hingga miliaran rupiah. "Satu genset selisihnya sekitar 100 juta rupiah dibanding pemakaian listrik. Biaya pemakaian satu genset selama lima jam sebesar 135 juta rupiah per bulan. Kalau dikurangi biaya listrik berarti sekitar 100 jutaan untuk 120KVA. Siapa yang mau bayar,” papar Ridwan.

Selain itu, Ridwan menganggap penggunaan genset tidak adil bagi peritel, khususnya skala kecil. Hal itu mengingat, ada mal yang punya genset, tapi ada juga yang punya sedikit. "Itu juga tidak fair," ujarnya.

Makanya, APPBI dan APRINDO meminta PLN mengubah keputusan ini. "Kalau tidak, kami akan adakan konferensi pers besar yang melibatkan semua asosiasi dan ada tim pengacara kami," ujar Ridwan. Dia minta dalam 1-2 hari PLN sudah bisa memberi jawaban.

Sementara itu, Direktur Utama PLN, Fahmi Muchtar mengancam balik pengusaha sektor bisnis. Dia bilang pengusaha bisnis harus tetap menjalankan penghematan energi dengan menggunakan genset. "Kalau tidak, lebih baik mereka saja yang dipadamkan," ancam Fahmi. Dia memilih memperhatikan kebutuhan pasokan rumah tangga. "Jangan sampai pasokan rumah tangga yang dikorbankan. Lebih baik industri. Itu kan konsekuensi yang logis," tambahnya.

Fahmi menyayangkan sikap pelaku bisnis yang masih kurang sadar pada krisis energi yang sedang terjadi. "Mestinya mereka harus sadar terlebih dahulu dengan kondisi krisis energi seperti ini," ujar Fahmi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie