PLN meraih laba Rp 11,6 triliun di tahun lalu



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengklaim masih mencatatkan laba di tahun buku 2018. Bahkan, perusahaan setrum pelat merah tersebut menyebut laba bersih yang diperoleh tahun 2018 meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.

Pelaksana Tugas (Plt.) PLN Djoko Rahardjo Abumanan mengatakan, laba bersih yang diraih PLN pada tahun lalu mencapai Rp 11,6 triliun. Laba itu meningkat 162,44% dibandingkan laba bersih tahun 2017 yang senilai Rp 4,42 triliun.

Djoko bilang, peningkatan laba bersih tersebut disokong sejumlah faktor. Satu diantaranya penjualan listrik yang tumbuh, meski masih di bawah target yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).


"Penjualan (listrik) naik, semua naik, tapi belum seperti yang diharapkan di RUPTL. Target 7%, tercapai 5 sekian persen, tapi kami masih tetap bukukan laba Rp 11,6 triliun," terang Djoko selepas RUPS PLN yang digelar di Kementerian BUMN, Rabu (29/5).

Sebagai informasi, dari target pertumbuhan penjualan listrik yang dipatok sebesar 7%, sepanjang tahun lalu realisasinya sebesar 5,15%. Dalam catatan KONTAN, hingga akhir tahun 2018 lalu penjualan listrik PLN tercatat sebesar 232,43 TeraWatthour (TWh).

Selain dari sisi penjualan listrik yang bertumbuh, Djoko juga mengungkapkan, laba bersih PLN juga didorong penyesuaian kontrak dan piutang dengan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Hanya saja, Djoko tidak merinci kontrak dan piutang yang dimaksud, termasuk untuk besarannya.

Namun, menurut Direktur Keuangan PLN Sarwono Sudarto, piutang dengan PGN itu tidak begitu signifikan. Faktor penopang laba yang paling signifikan, imbuh Sarwono, adalah adanya efisiensi yang dilakukan oleh PLN.

Terutama dengan adanya domestic market obligation (DMO) batubara yang harganya dipatok sebesar US$ 70 per ton sejak Maret tahun 2018 lalu. "Yang besar justru dari (patokan harga DMO) batubara. Efisiensinya bagus sekali, faktor yang paling besar DMO," terangnya.

Sayangnya, Sarwono pun masih enggan untuk menjelaskan secara detail komposisi peningkatan laba dari masing-masing faktor tersebut. "Nanti saja saya jelaskan semuanya," katanya.

Menurut pengamat ekonomi energi UGM Fahmy Radhi, kinerja keuangan PLN ditentukan oleh pendapatan dan biaya operasional. Adapun, pendapatan tersebut tergantung pada jumlah pelanggan, konsumsi dan tarif listrik.

"Meski tarif listrik tidak dinaikkan hingga akhir 2019, tapi ada peningkatan jumlah pelanggan yang akan menaikkan konsumsi listrik," kata Fahmy.

Sementara untuk biaya operasional, kata Fahmy, adanya kewajiban DMO atau pasokan batubara dalam negeri yang harganya dipatok US$ 70 per ton dinilai sangat membantu PLN. Sebab, batubara masih memegang sekitar 54,6% dari bauran energi PLN.

"Dengan itu, saya melihat kinerja keuangan PLN memang masih bagus," imbuhnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai kebijakan patokan harga DMO tersebut dapat menurunkan biaya bahan bakar sekitar 15% hingga 20%. "Itu cukup menekan biaya bahan bakar cukup signifikan dibandingkan tanpa adanya kebijakan tersebut," ujarnya.

Tidak membagi dividen

Di sisi lain, Djoko menyampaikan, dari laba bersih PLN senilai Rp 11,6 triliun itu, PLN tidak membagikan dividen kepada pemerintah. PLN menetapkan laba bersih itu sebagai laba itu ditahan untuk biaya investasi PLN di tahun ini. "Ditahan semuanya untuk investasi," ujar Djoko.

Djoko bilang, investasi yang dibutuhkan PLN setiap tahun berkisar antara Rp 90 triliun hingga Rp 100 triliun. Adapun, dana investasi yang diperlukan PLN pada tahun ini sekitar Rp 99 triliun.

Untuk menutupi kebutuhan dana sebesar itu, Djoko menyebutkan, PLN masih akan mengandalkan utang. "Tetap harus tambah utang, tapi ada modal sendiri, kan kita minta itu supaya bisa dipakai untuk investasi," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat