PLN raih pinjaman dan mengaku masih bisa pinjam sampai Rp 2.000 triliun lagi



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. PT PLN (Persero) kembali mendapat pinjaman. Kali ini dalam bentuk Fasilitas Pinjaman Sindikasi (Syndicated Loan Facilities) senilai US$ 1,62 Miliar dengan 20 Bank Internasional.

Baru-baru ini PLN juga baru menerbitkan global bond senilai US$ 1 miliar dan € 500 juta. Padahal kuartal III 2018, PLN masih tercatat merugi sekitar Rp 18 triliun akibat selisih kurs karena meningkatnya utang dalam mata uang asing seperti dolar Amerika Serikat (AS).

Namun menurut Executive Vice President Corporate Comunication dan CSR PLN, Made Suprateka, pinjaman sindikasi yang didapat PLN melebihi target sehingga itu  menunjukan adanya kepercayaan dari investor kepada PLN.


"Targetnya US$ 1,5 miliar, over subscribe jadi US$ 1,62 miliar. Memang manis, lagi cantik-cantiknya PLN disitu. Kelihatan bahwa orang melihat investor percaya dengan PLN," kata Made ke KONTAN pada Senin (5/11).

Made juga menyebut pinjaman sindikasi ini tidak akan membebani keuangan PLN karena pinjaman sindikasi ini untuk jangka panjang. Selain itu, pembayaran pinjaman pun bisa diperpanjang sesuai kondisi keuangan PLN.

Dari sisi Debt to Equity Ratio (DER), Made memastikan DER PLN masih aman. Ini lantaran jika PLN meminjam utang Rp 2.000 triliun pun DER PLN capai 150%. Sementara itu kebutuhan investasi PLN untuk proyek 35.000 megawatt (MW) hanya Rp 385 triliun.

"Kami bisa Rp 2.000 triliun, Rp 2000 triliun itu 150%. Sekarang masih jauh, masih dibawah 100%, sekarang 45% ini. Kalau ambil Rp 385 triliun itu jauh banget," klaim Made.

Selain itu, pinjaman yang didapat PLN pun tidak ditarik secara bersamaan. Melainkan penarikan dana pinjaman dilakukan sesuai kebutuhan proyek 35.000 MW. "Rp 385 triliun itu kebutuhannya, jadi itu penarikannya ada schedule-nya, sesuai dengan progress seperti apa, tidak sekaligus ditarik," kata Made.

Sementara untuk pembayaran utang tersebut, Made menyebut PLN pasti mampu membayar pinjaman. Ini karena jangka saktu utang yang masih cukup panjang ketimbang target penyelesaian proyek 35.000 MW.

"Kalau pinjaman 10 tahun, untuk 35.000 MW dalam lima tahun sudah pada kelar berarti tahun 2023. Kalau utang jatuh tempo dari sekarang 2028, pada 2023 kami sudah hasilkan 10.000 MW, sudah jual 35.000 MW, sudah ada uang. Jangankan 2023, 2019 juga ada yang sudah produksi,"katanya.

Selain itu, PLN juga yakin tiap.tahunnya akan ada peningkatan konsumsi listrik dan pelanggan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. "Apalagi sampai 2023 semua selesai, ada peningkatan jumlah komsumsi listrik, peningkatan jumlah pelanggan, duit semua itu. Dalam RUPTL itu pertumbuhan ekonomi mempengaruhi konsumsi listrik, dalam RUPTL nanti jumlah listrik dibangun habis terjual,"pungkas Made.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyatakan, pinjaman sindikasi itu sudah dialokasikan untuk proyek-proyek PLN yang perlu pendanaan, baik transmisi dan distribusi dan pembangkit. Pinjaman ini tidak membebani secara langsung karena pencairannya dilakukan sesuai siklus proyek.

Selain itu dalam hal pengembaliannya juga tidak langsung karena adanya grace period jadi tidak akan membebani neraca keuangan atau cash flow PLN dalam jangka pendek. "Menurut hemat saya, jika lembaga pembiayaan masih memberikan pinjaman kepada PLN, artinya mereka menilai keuangan PLN masih cukup sehat,"imbuh Fabby.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini