KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Suka atau tidak, batubara masih menjadi andalan dalam energi kelistrikan. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) tahun 2019-2028, batubara masih memegang porsi dominan dengan 54,6% dari total bauran energi. Sejalan dengan bauran energi yang dominan, konsumsi batubara pun meningkat, dari 91 juta ton pada tahun lalu, menjadi 97 ton di tahun ini. Kebutuhan emas hitam itu akan terus menanjak dan mencapai puncak pada tahun 2028 dengan proyeksi kebutuhan 153 juta ton. Karenanya, untuk menjaga kinerja operasional maupun finansial, strategi efisiensi diperlukan. Terutama pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang sudah beroperasi lama..
Sebut saja beberapa diantaranya: PLTU Paiton 1 dan 2 berkapasitas 400 Megawatt (MW) yang beroperasi sejak tahun 1994, PLTU Suralaya (4 x 400 MW) yang beroperasi dari 1984, serta PLTU Bukit Asam (2 x 65 MW) yang sudah mengaliri setrum sejak tahun 1987. Dari sejumlah PLTU itu, baru PLTU Paiton 1 dan 2 yang sudah berhasil melakukan efisiensi, yakni dengan strategi coal switching alias mengganti kalori dari batubara yang dikonsumsi. Asal tahu saja, sejak awal tahun lalu, asupan batubara untuk PLTU Paiton 1 dan 2 sudah diubah. Dari yang semula berkalori tinggi-menengah sekitar 6.000-5.300 kilokalori/kilogram (kkal) Gross As Received (GAR), menjadi batubara berkalori lebih rendah, yakni 4.500 kkal GAR. Seperti yang pernah diberitakan KONTAN sebelumnya, dari hasil coal switching tersebut, ada potensi penghemaatn biaya sekitar Rp. 166 miliar pada tahun ini. Mengingat, batubara kalori di angka 5.000 kkal GAR memiliki biaya Rp. 924 per kg, sedangkan batubara 4.500 kkal GAR hanya Rp. 760 per kg, sehingga Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik juga menurun dari Rp. 485 per kilowatt hour (kWh) menjadi Rp. 454 per kWh. Apalagi, selain coal switching, PLN juga melakukan pilot project untuk memasang alat pemantau remote engineering, monitoring, diganotic, and optimization (REMDO) di PLTU Paiton 1 dan 2. Dengan dipasangnya REMDO yang baru di PLTU yang berlokasi di Probolinggo, Jawa Timur itu, PLN bisa menekan biaya penanganan kerusakan karena semua oeprasional mesin berjalan secara digital. Dalam hal ini, Vice President Public Relation PLN Dwi Suryo Abdullah menyampaikan bahwa apa yang telah diterapkan di PLTU Paiton tersebut membuka peluang bagi perusahaan setrum plat merah itu untuk menerapkan metode serupa pada PLTU berusia tua lainnya. Hanya saja, Dwi bilang hal tersebut masih memerlukan sejumlah kajian secara lebih komprehensif. Sebab, metode yang sama tidak otomatis akan berhasil diterapkan pada PLTU lain. Hal itu lantaran setiap ketel uap atau boiler yang digunakan untuk menggerakkan turbin di PLTU memiliki perbedaan desain dan kalori batubara yang dibutuhkan. Jika salah perhitungan, maka akan berdampak pada produksi uap penggerak turbin yang tidak efisien, dan akhirnya menganggu kinerja PLTU dalam menghasilkan setrum. "Untuk itu dengan kesiapan PLTU Paiton, menjadi awal untuk dilakukan kajian secara komprehensif atas metode yang telah berhasil dilakukan, agar hal yang sama dapat diterapkan pada beberapa pembangkit yang berbahan bakar batubara" terang Dwi saat dihubungi Kontan.co.id, Sabtu (6/4). Lebih lanjut, Dwi pun mengatakan bahwa upaya untuk melakukan efisiensi dalam konsumsi batubara sudah dicoba pada PLTU Suralaya. PLTU yang sudah beroperasi sejak 1984 itu didesain untuk melahap batubara dengan rentang kalori 5.600 kkal GAR hingga 6.000 kkar GAR. Dalam 10 tahun terakhir, kalori batubara sudah diturunkan, meski belum mencapai konsumsi batubara kalori rendah. "Kalau tidak salah sudah lebih dari 10 tahun ini dioperasikan dengan kalori 5.000 kkal sampai 5.600 kkal," ungkap Dwi. Dihubungi terpisah, Kepala Divisi Batubara PLN Harlen menyampaikan bahwa batubara yang dibutuhkan untuk menggerakkan PLTU berkisar pada kalori 4.000 kkal GAR hingga 6.300 kkal GAR. Untuk PLTU lama, lanjut Harlen, batubara yang dibutuhkan berkisar pada 5.000 - 6.300 kkal GAR, sementara untuk PLTU yang lebih baru bisa melahap batubara dengan kalori yang lebih rendah. "Misal untuk PLTU yang FTP-1 (Fast Track Program) sudah menggunakan nilai kalori 4.000-4.200," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Minggu (7/4). Sementara, untuk PLTU dalam megaproyek 35.000 MW, Harlen bilang pasokan batubara disesuaikan berdasarkan dengan zonasi. "Tapi rata-rata nilai kalori yang digunakan saat ini 4.600 kkal/GAR," imbuhnya. Adapun, menurut Dwi Suryo, PLN memang tengah mengembangkan PLTU dengan boiler yang mengkonsumsi batubara 4.200 kkal GAR. Hal itu cukup beralasan mengingat produksi batubara Indonesia didominasi oleh batubara kalori ini, dan Indonesia menjadi eksportir terbesar batubara jenis termal tersebut. Suryo menjelaskan, kemajuan teknologi boiler saat ini memungkinkan boiler dengan konsumsi batubara 4.200 kkal GAR untuk mampu menghasilkan listrik dengan daya 600 MW hingga 1000 MW. "Penerapan dilakukan PLTU Suralaya Unit 8 dengan daya sekitar 600 MW, di Cilacap Ekpansi Unit 3 dengan daya 660 MW serta Paiton Unit 9 kapasitas 600 MW," ungkap dia.
Seperti diketahui, bagi PLTU yang baru dibangun, memang ada sejumlah pilihan teknologi yang bisa digunakan untuk bisa menghasilkan kinerja operasional yang optimal beriringan dengan dampak lingkungan yang diminimalkan. Antara lain melalui teknologi Ultra Super Critical, yang merupakan teknologi batubara bersih beremisi rendah sehingga sistem pembakaran yang dihasilkan bisa meningkatkan efisiensi hingga 40%. Namun, untuk PLTU tua, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai strategi efisiensi mutlak diperlukan. Mengingat dalam perhitungannya, dalam 10 tahun terakhir, konsumsi batubara untuk memproduksi 1 kWH naik sebesar 50%. Karenanya, efisiensi harus dilakukan, antara lain melalui cara retrofit. Yakni penggantian mesin atau perangkat lunak serta melakukan pengaturan ulang perangkat kontrol, yang menurut Fabby bisa menaikkan efisiensi sebesar 1%-2% pada PLTU tua. "Tujuannya untuk menaikkan tingkat efisiensi pembangkit, dan meningkatkan output (energi yang dibangkitkan), naik efisiensi 1%-2% itu lumayan dari sisi output dan penggunaan batubara," ungkapnya. Adapun, selain upaya yang dapat dilakukan di atas, Dwi Suryo mengemukakan bahwa PLN sedang melakukan penelitian pengolahan sampah untuk dijadikan bahan bakar berbentuk pelet sebagai penghasil listrik. Jika uji coba ini berhasil, sambung Suryo, maka komposisi konsumsi bahan dasar PLTU bisa 5% dari pelet dan 95% batubara. Upaya ini juga akan membantu mengurangi timbunan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). "Sedang uji coba di Pasanggrahan dan Klungkung meskipun yang dihasilkan masih skala rendah sekitar 30 hingga 40 KiloWatt," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini