KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penyediaan energi bersih kini menjadi fokus Indonesia seiring komitmen Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Sejumlah industri pun berlomba-lomba melakukan transformasi bisnis, termasuk PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Salah satu program yang bakal menjadi fokus perusahaan setrum pelat merah ini yaitu ekosistem kendaraan listrik berbasis green hydrogen. Terbaru, PLN telah meresmikan 21 Green Hydrogen Plant dengan produksi green hydrogen mencapai 124 juta ton excess power atau di luar jumlah yang digunakan untuk pendinginan pembangkit listrik.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai kebijakan mendorong ekosistem kendaraan berbasis green hydrogen bakal menciptakan efek multiplier.
Baca Juga: Fokus Transisi Energi, PLN Nusantara Power Sebut PLTU Paiton Pakai Campuran Biomassa Peneliti INDEF Abra Talattov mengungkapkan, penggunaan green hydrogen disektor transportasi, selain dapat merupakan bentuk diversifikasi energi, juga bakal berimbas pada penghematan impor minyak mentah (crude) dan Bahan Bakar Minyak (BBM). "Kebijakan ini punya dampak multiplier yang cukup luas diaspek lain termasuk disisi anggaran negara," kata Abra kepada Kontan, Selasa (5/12). Abra menjelaskan, beban subsidi dan kompensasi BBM dapat ditekan jika program kendaraan green hydrogen terlaksana. Meski demikian, sejumlah instrumen penting dinilai patut jadi perhatian Kementerian dan Lembaga terkait. Demi memastikan rencana ini dapat berjalan, perlu disiapkan roadmap atau peta jalan green hydrogen. Hal ini guna memastikan ketersediaan dan target dari sisi suplai serta konsumsi green hydrogen ke depannya. Selain itu, diperlukan juga peta jalan pengembangan infrastruktur green hydrogen ke depannya. Sejumlah poin penting ini bakal menjadi tolak ukur produsen mobil untuk memproduksi kendaraan green hydrogen. Berkaca dari upaya serupa disektor mobil listrik, Abra tak menampik pengembangan kendaraan green hydrogen juga memerlukan dukungan insentif fiskal dari pemerintah untuk masyarakat atau calon pembeli serta para produsen mobil. Sebagai tahap awal, moda transportasi angkutan logistik dinilai menjadi sasaran tepat untuk melakukan proyek percontohan dalam pengembangan ekosistem kendaraan berbasis green hydrogen. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yudo Dwinanda Priaadi mengungkapkan, green hydrogen dapat menjadi opsi bahan bakar sektor transportasi. "Ke depannya, potensi hidrogen sangat besar baik untuk kita pakai sendiri ataupun untuk ekspor," kata Yudo dalam Peresmian Green Hydrogen Plant PLN, Senin (20/11). Penggunaan green hydrogen untuk sektor transportasi diyakini bakal mendorong peningkatan energi bersih. Di saat bersamaan, upaya menekan impor minyak mentah dan Bahan Bakar Minyak (BBM) juga dapat terlaksana, apalagi saat ini kebutuhan mayoritas masih dipenuhi melalui impor. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengungkapkan, pihaknya bersama kementerian dan lembaga lain yang terkait siap mendorong pengembangan ekosistem kendaraan berbasis green hydrogen. "Kita akan memastikan ini secara teknis, gaya hidup dan juga komersil layak sehingga ke depannya dengan ekosistem ini dapat mendorong transportasi hijau," kata Darmawan.
Baca Juga: Ini Empat Kesepakatan Penting yang Diteken PLN dalam COP 28 Merujuk hitung-hitungan PLN, dengan rata-rata konsumsi hidrogen kendaraan 0,8 kg per 100 kilometer, maka 124 ton green hydrogen yang diproduksi bisa digunakan untuk 424 mobil per tahun yang bergerak 100 kilometer setiap harinya. Angka tersebut bisa menurunkan emisi karbon hingga 3,72 juta kg CO2 dan mengurangi impor BBM sebesar 1,55 juta liter per tahun, mengganti energi impor menjadi energi dalam negeri. Darmawan mengungkapkan, emisi yang dihasilkan dari sektor transportasi kini sekitar 280 juta ton per tahun. Jika tidak ada perubahan dalam pelaksanaan bisnis, maka jumlah emisi yang dihasilkan bakal meningkat hingga 890 juta ton per tahun pada 2060 mendatang. Selain itu, produksi green hydrogen dari pembangkit diklaim lebih hemat biaya ketimbang sumber lainnya. Merujuk perhitungan PLN, produksi green hydrogen dari pembangkit lebih hemat 80% ketimbang sumber lainnya.
Kebut Infrastruktur dan Dukungan Regulasi
Peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Eniya Listiani Dewi mengungkapkan, demi memuluskan rencana pengembangan ekosistem kendaraan berbasis green hydrogen, diperlukan dukungan pemerintah dari sisi perbaikan regulasi. "Regulasi yang mengadopsi infrastruktur karena nanti kebutuhannya (meningkat)," terang Eniya. Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menjelaskan, saat ini sudah ada sejumlah regulasi yang berkaitan dengan hidrogen. Meski demikian, ke depannya pemerintah bakal merumuskan regulasi yang lebih spesifik.
Baca Juga: PLTU Cirebon Siap Pensiun Dini di 2035 "Dengan apa yang sudah dilakukan oleh PLN dan BRIN, kita akan merumuskan lebih lanjut terkait bisnis hidrogen ini khususnya untuk energi, yang kita gunakan sebagai bahan bakar," jelas Feby dalam kesempatan yang sama.
Sebagai tahap awal, PLN-BRIN merencanakan sebanyak 6 titik stasiun pengisian ulang green hydrogen akan dibangun. "Kita bisa membuat (stasiun pengisian) dari Jakarta sampai arah Patimban," pungkas Eniya. Umumnya investasi untuk membangun stasiun pengisian dengan tekanan 700 bar sekitar US$ 1,5 juta hingga US$ 2 juta. Jenis stasiun pengisian seperti ini merupakan yang umum dipakai untuk kendaraan berbasis hydrogen dengan tipe angkutan penumpang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi