PLN targetkan 736,6 MW pembangkit EBT terpasang tahun ini



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Investasi listrik jenis Energi Baru dan Terbarukan (EBT) masih terbilang mahal. Hal ini lah yang masih mengganjal pengembangan pembangkit energi hijau hingga saat ini.

Hal itu diakui oleh Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir. Menurut Sofyan, biaya investasi EBT yang masih mahal membuat BUMN setrum ini sampai sekarang masih tetap mengandalkan energi primer yang relatif lebih murah, yakni batubara.

Sofyan mengklaim, ini merupakan pilihan yang sulit bagi PLN. Apalagi, sejak tahun 2015, PLN tidak menaikkan tarif listrik, bahkan dengan rata-rata tarif Rupiah per Kilowatt hour (kWh)yang cenderung turun.


"Kami puasa (menaikkan) tarif sudah empat tahun. Kalau kami masuk EBT, cost-nya nggak kuat, antara EBT sama kepentingan tarif, sementara ini lebih mendahulukan kepentingan tarif," kata Sofyan saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI, awal pekan ini.

Kendati demikian, lanjut Sofyan, pihaknya tetap berkomitmen untuk mencapai bauran EBT sebesar 23% pada tahun 2025. Antara lain dengan meningkat kapasitas terpasang pembangkit yang masuk ke dalam sistem kelistrikan PLN.

Pada tahun ini, PLN menargetkan akan ada tambahan pembangkit EBT yang beroperasi. Jumlah kapasitasnya mencapai 736,6 Megawatt (MW). Yang terdiri dari PLTA sebesar 274 MW, PLTB sebanyak 60 MW, PLTBG/M sebesar 10,9 MW, PLTM berkapasitas total 136,3 MW, PLTP sebanyak 190 MW, PLTSa sebesar 2 MW dan PLTS/H dengan kapasitas 63,4 MW.

Dari jumlah itu, pembangkit besar yang akan beroperasi antara lain PLTA Poso Peaker 60 MW, PLTA Jatigede 110 MW, PLTA Rajamandala 47 MW, PLTB Jeneponto 60 MW, PLTP Sorik Merapi 45 MW, PLTP Muara Laboh 80 MW, dan PLTP Lumut Balai 55 MW.

Pembina EBT PLN Djoko Raharjo Abumanan mengatakan, jumlah itu terdiri dari pembangkit PLN dan pembangkit dari produsen listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP). Djoko bilang, pihaknya berkomitmen untuk menambah jumlah pembangkit EBT setiap tahunnya. "Itu campuran yang masuk ke sistem PLN, ada dari PLN, ada IPP. (Setiap tahun) harus naik lah," katanya saat dihubungi KONTAN, pada Kamis (7/2).

Sementara, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, pada tahun 2018, penambahan kapasitas pembangkit EBT mencapai 4.213 MW. Jumlah itu terdiri dari PLTP sebesar 1.948,5 MW, Pembangkit Bioenergi sebanyak 1.857,5 MW, PLTB Sidrap sebesar 75 MW, serta dari pembangkit aneka energi sebanyak 332 MW.

Hingga tahun lalu, bauran EBT baru sekitar 12,6%. Menurut Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM Harris, porsi EBT sebetulnya terus bertambah setiap tahun, hanya saja untuk persentase porsi bauran bisa tergeser oleh penambahan porsi energi primer fosil seperti batubara.

Asal tahu saja, pada tahun ini, setidaknya pembangkit batubara akan mendapatkan kapasitas sebesar 2.350 MW. Itu dipasok hanya dari tiga PLTU berukuran jumbo, yakni PLTU Jawa 7 dan Jawa 8 masing-masing berkapasitas 1.000 MW dan PLTU Lontar dengan kapasitas 350 MW.

Investasi di pembangkit batubara memang lebih murah dibandingkan dengan pada pembangkit EBT. Juru bicara Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Rizal Calvary memberikan perbandingan, untuk investasi pembangkit panas bumi (PLTP/geothermal) misalnya, membutuhkan biaya sekitar US$ 4 juta per MW, lebih mahal dibandingkan PLTU Batubara yang membutuhkan sekitar US$ 1,5 juta - US$ 2 juta per MW.

Menurut Rizal, perbedaan investasi ini disebabkan oleh perbedaan komoditas, cara memperolehnya serta tingkat kesulitan dan teknologi yang digunakan. "Juga biaya pembebasan lahan, sosial, juga beratnya medan dan geografis," imbuhnya saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (7/2).

Hanya saja, lanjut Rizal, perlu diperhitungkan juga bahwa pembangkit EBT sebetulnya hanya mahal di awal, tapi biaya operasionalnya lebih efisien dan ramah lingkungan. "Awalnya yang berat, tapi operasionalnya lebih efisien dan pro green," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini