PLN terbebani US$ 16,2 miliar dari PLTU swasta



KONTAN.CO.ID - Lembaga internasional Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menemukan bahwa ekspansi PLTU batubara yang dilakukan oleh produsen listrik swasta dapat berpotensi membebani anggaran PLN sebanyak US$ 16,2 miliar akibat kewajiban melakukan pembayaran kapasitas yang tercantum dalam Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL). Dalam analisa IEEFA mengenai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017-2026. Menunjukkan bagaimana kewajiban pembayaran kapasitas untuk semua PJBL yang direncanakan dalam RUPTL tersebut akan berujung pada pemborosan. Hal ini disebabkan, karena PLN akan terikat kewajiban untuk membayar kapasitas listrik yang tidak akan lagi termanfaatkan. Pakar dari IEEFA Yulanda Chung yang juga merupakan penyusun kajian ini mengatakan apabila berfokus pada pengunaan energi terbarukan hasilnya dapat menghemat miliaran dollar. “Ekspansi tenaga listrik dari batubara dapat mengikat Indonesia pada kewajiban pembayaran atas listrik yang tidak termanfaatkan selama jangka waktu yang sangat panjang. Artinya akan ada banyak sekali uang yang terbuang sia-sia," ujarnya melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (11/8) . Di dalam RUPTL 2017-2026 dinyatakan sebanyak 24.000 Megawatt (MW) tenaga listrik direncanakan akan bersumber dari pembangkit berbasis batubara serta mulut tambang dibuka untuk produsen perusahaan listrik swasta.

Salah satu cara untuk menarik investasi dari perusahaan produsen listrik swasta, yakni PLN menawarkan PJBL selama 25 tahun yang menjamin pembayaran atas semua listrik yang dihasilkan, kendati listrik tersebut tidak terserap atau termanfaatkan. Yulianda bilang, berdasarkan perencanaan ini, maka PLN harus menyediakan US$ 76 miliar selama umur PJLB untuk membeli listrik dari produsen swasta. Dampak paling parah, kata Yulianda, akan terjadi pada sistem ketenagalistrikan Jawa-Bali. Berdasarkan hitungan IEEFA, kapasitas yang terdapat di sistem tersebut, ditambah dengan penambahan kapasitas dari energi baru dan terbarukan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam sistem sampai dengan 2026. "Sistem ketenagalistrikan Jawa-Bali tidak perlu menambah pembangkit dari batubara karena yang terdapat hari ini dalam sistem hanya memproduksi setengah dari kapasitas seharusnya, " ujarnya. Maka untuk mendorong proyek-proyek baru ini akan mengikat Indonesia selama 25 tahun dan mengharuskan Indonesia untuk membayar 5000 MW tenaga listrik yang tidak akan terserap atau termanfaatkan. Menurut Yulianda, memilih batubara sebagai sumber tenaga listrik, membawa dampak panjang. Pilihan ini akan menyulitkan pengembangan sumber energi terbarukan. Harga listrik teratas atau levelized cost of electricity (LCOE) di Indonesia untuk PLTS (tenaga surya) diperkirakan berada pada US$ 17 sen per kWh pada tahun 2016. IEEFA secara konservatif memperkirakan bahwa harga teknologi tenaga surya fotovoltaik akan mencapai paritas grid atau mencapai tingkat yang sesuai dengan daya beli grid pada harga US$ 8 sen per kWh pada tahun 2021, sesuai dengan proyeksi penurunan harga teknologi tenaga surya fotovoltaik di seluruh dunia. Kendati demikian, minat PLN untuk mengembangkan energi terbarukan akan turun karena energi terbarukan dalam skala besar dapat mengurangi porsi tenaga listrik dari batubara. “Di beberapa negara lain energi terbarukan sudah menjadi lebih murah dibandingkan batubara," ujar Chung. Maka dari itu ia berharap, apabila Indonesia ingin memetik manfaat dari perkembangan ini, maka banyak yang harus diubah dalam perencanaan ketenagalistrikan nasional, supaya Indonesia dapat terhindar dari bahaya terikat atau efek lock-in pada suatu sistem berbasis batubara yang akan berujung pada pemborosan anggaran sebanyak miliaran dolar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Dessy Rosalina