PLN Tetap Pertahankan Operasional PLTU Hingga Kontrak Jual-Beli Listrik Berakhir



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. PT PLN dan Kementerian ESDM mengambil keputusan tidak mengutamakan program pemensiunan dini pembangkit batubara karena opsi tersebut akan mengancam keberlanjutan finansial PLN ke depannya. 

Direktur Utama PT PLN, Darmawan Prasodjo menjelaskan, pihaknya dipandu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bekerja sama dengan International Energy Agency (IEA) membangun permodelan sistem ketenagalistrikan dengan berbagai skenario. 

Ada lima skenario yang dibuat PLN dalam melaksanakan transisi energi. Dimulai dari skenario bisnis tanpa perubahan (business as usual) yakni pemakaian batubara tetap dominan, hingga skenario kelima jika PLN menggunakan 100% Energi Baru Terbarukan (EBT) dan menyuntik mati PLTU. Skenario paling ekstrim ini dinamakan Ultra Accelerated Renewable with Coal Phase Out (Ultra RE Coal Phase Out). 


“Pada skenario kelima ini, PLN mengasumsikan adanya pemensiunan dini PLTU dan ternyata kebutuhan EBT baseload 84 GW, biaya menjadi sangat tinggi dan operasi sistem menjadi tidak feasible,” jelasnya di dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Rabu (15/11). 

Baca Juga: Indonesia Kembali Negosiasikan Pendanaan Pemensiunan Dini PLTU ke AS

Seiring dengan itu kebutuhan belanja modal (capital expenditure/capex) PLN menjadi sangat tinggi. 

Di dalam materi paparannya, skenario 5 ini mengharuskan PLN menyiapkan pembangkit EBT baseload sebesar 84 GW, kapasitas pembangkit angin dan solar hingga 105 GW dan energi baru sebesar 23 GW. Jika menerapkan skenario ini, keberlanjutan finansial PLN menjadi terancam di mana dari kondisi sehat menjadi tidak sehat. 

“Dalam hal ini antara diskusi Kementerian ESDM dan PLN, kami sudah mengambil persetujuan untuk melaksanakan skenario paling feasible yakni skenario 3 yang disebut Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Down (ACCEL RE Coal Phase Down),” tegasnya. 

Pada skenario ketiga ini, PLN tetap mengoperasikan pembangkit batubara dengan menurunkan kapasitasnya perlahan (coal phase down), sembari meningkatkan pembangunan pembangkit gas dan EBT base load. 

Skenario ini akan tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2024-2033. PLN akan menambah 75% pembangkit energi baru terbarukan (EBT) dengan kapasitas 31,6 Gigawatt (GW) dan 25% pembangkit gas sebesar 10,5 GW. 

“Kami akan melakukan coal phase down (penurunan kapasitas) bukan coal phase out (pemensiunan dini). Dalam hal ini bagaimana pembangkit berbasis batubara tetap beroperasi sampai masa berakhir kontrak dan penambahan teknologi penangkapan karbon (CCS),” terangnya. 

Keputusan tidak menyuntik mati pembangkit batubara ini turut mendapat dukungan dari Komisi Energi di Parlemen. 

Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menjelaskan, PLN memilih melakukan coal phase down atau mempertahankan operasional PLTU hingga berakhirnya waktu kontrak jual beli listrik. Bila saat waktu kontrak habis dan pembangkit masih dapat beroperasi maka PLTU-PLTU tersebut akan tetap digunakan sebagai baseload.

“Dengan keputusan ini maka Pemerintah wajib mempersiapkan dan membangun infrastruktur energi hijau di samping tetap menjaga operasional pembangkit listrik tenaga uap,” ujarnya Jumat (17/11). 

Mulyanto menambahkan keputusan ini pilihan yang rasional dan objektif di tengah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) APBN yang terbatas dan tidak ada bantuan dana murah dari negara donor sebagaimana yang dijanjikan.

Baca Juga: Tidak Suntik Mati PLTU, Pemerintah Pilih Lakukan Opsi Ini

Menurutnya, Indonesia jangan terlalu ekstrem menjalankan transisi energi ini mengingat negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris dan negara Eropa lainnya, melepas karbon ke atmosfer empat kali lipat dari Indonesia. 

Konon sebagai konsekuensinya mereka menjanjikan bantuan bagi negara-negara yang komitmen menjalankan program dekarbonisasi seperti Indonesia. Tapi faktanya hari ini dana yang dijanjikan belum diterima.  

"Kita sudah menyampaikan masalah ini berkali-kali agar mereka konsisten dengan janjinya untuk membantu Indonesia menjalankan transisi energi menuju NZE (net zero emission).  

Namun nyatanya realisasi bantuan tersebut sampai hari ini masih sebatas janji. Yang ada dari negara maju adalah utang dengan bunga komersil," kata Mulyanto 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .