KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9 dan 10 di kawasan Suralaya, Banten akan menggunakan hidrogen hijau dan amonia hijau dalam proses produksinya. Ini menjadi pembangkit listrik pertama di Indonesia yang akan menggunakan amonia dan hidrogen hijau, mendampingi batu bara. Langkah ini selaras dengan peta jalan transisi energi untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) tahun 2060, yang terfokus pada pengembangan energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan. PT Indo Raya Tenaga (IRT), sebagai pemilik dan operator PLTU Jawa 9 dan 10 bersama Doosan Enerbility (Korea Selatan) sepakat untuk menjadikan pembangkit ini menjadi pembangkit hibrid pertama yang menggunakan energi ramah lingkungan. Kesepakatan tersebut tercantum dalam nota kesepahaman atau MoU dalam rangkaian Pertemuan Meja Bundar Bisnis KTT ke-43 ASEAN di Jakarta, pada September tahun lalu.
Baca Juga: PLN EPI Targetkan 2,2 Juta Ton Biomassa untuk Cofiring PLTU IRT bersama PLN Enjiniring dalam MoU di dalam agenda KTT G20 di Bali juga bersepakat melakukan studi maksimalkan penggunaan amonia hijau untuk kemungkinan penggunaannya sebagai bahan bakar pembangkit Jawa 9 & 10. President Director IRT, Peter Wijaya mengatakan, pembangkit Listrik USCR ini bersama pembangkit lainnya yang ada di Korea, diharapkan bisa menggunakan amonia hijau dan hidrogen hijau yang bertujuan untuk mendukung kebijakan net zero emission kedua negara, baik di Indonesia maupun di Korea Selatan. "Kenapa PLTU Jawa 9 dan 10 menginisiasi amonia hijau? Karena seperti kita ketahui PLTU Jawa 9 dan 10 merupakan satu-satunya pembangkit yang menggunakan teknologi SCR (selective catalytic reduction) di Indonesia," kata Peter. Dia berharap dengan adanya teknologi ini maka, PTLU Jawa 9 dan 10 bisa dianggap sebagai power plant hybrid yang menjadikan amonia sebagai bahan bakar hingga 60%. Dia menambahkan hal ini sudah direview dengan PLN Enjiniring dan hasilnya memuaskan. Peter menjelaskan, kedua pihak akan melakukan studi bersama untuk mengembangkan peta jalan dan perencanaan atas permintaan dan rantai pasokan amonia hijau di Indonesia. Menurut dia, hingga saat ini, belum ada pembangkit yang menggunakan amonia hijau dan hidrogen hijau secara komersial. Peter juga mengungkapkan, hasil review yang dilakukan pihaknya bersama pemangku kepentingan di Korea menyimpulkan bahwa boiler pada pembangkit berteknologi SCR ini bisa menggunakan amonia hijau dan hidrogan hijau sampai 60% dari materi energi yang dipakai guna produksi listriknya. "Ini juga menegaskan keseriusan dalam mengembangkan pasar amonia hijau dan hidrogen hijau di Indonesia ini," ujar dia.
Baca Juga: Siap-Siap Pembangkit Listrik Batubara (PLTU) Akan Dikenakan Pajak Karbon Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelaskan, hidrogen dan amonia tidak hanya akan digunakan sebagai energi baru, namun juga sebagai penyimpanan dan pembawa energi serta mengoptimalkan pemanfaatan energi baru terbarukan dan menghubungkan sumber energi dengan permintaan. Senior Analis Institute for Essential Services Reform (IESR) Farid Wijaya mengatakan, hidrogen dan amonia memiliki peran penting dan akan menggantikan peran penting dari bahan bakar fosil sebagai komoditas energi maupun komoditas kimia bahan baku industri. Farid berharap PLTU lain dapat meniru inisiatif ini. "Tentunya bisa jika sudah berhasil di PLTU tertentu dan dengan mempertimbangkan aspek keteknisan yang sesuai, adopsi hidrogen dan amoniak bisa dilakukan di PLTU lainnya,” kata dia, Jumat (26/7). Farid menekankan pentingnya penyiapan media penyimpanan hidrogen yang aman, dapat diandalkan, dan murah secara operasional. Peranan hidrogen, menurut dia, sangat besar sebab belakangan ini banyak negara berlomba-lomba menempatkan posisinya sebagai teknologi hub, produsen maupun konsumen. "Hidrogen yang menjadi proyeksi masa depan itu adalah hidrogen rendah jejak emisi karbon, khususnya hidrogen hijau yang berasal dari elektrolisis air dan listrik energi terbarukan," ujar dia. Farid mengungkapkan, Indonesia saat ini memiliki kebutuhan sekitar 1,8 juta ton per tahun hidrogen yang dihasilkan dari bahan bakar fosil atau dikenal dengan hidrogen abu-abu dengan emisi karbon tinggi. Dia menambahkan, hidrogen hijau dan amonia hijau dikategorikan sebagai jenis hidrogen dan amonia yang dihasilkan dari proses elektrolisa air dengan listrik energi terbarukan. Idealnya, memiliki emisi jejak karbon yang paling rendah. "Menguntungkan tidaknya perlu dikaji lebih jauh. Namun selama proses dilakukan dengan pendekatan yang baik dan benar, maka keuntungan negara bisa dimaksimalkan dengan turut meminimalkan potensi kerugian yang mungkin terjadi," kata Farid. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengakui jika butuh penelitian dan pengembangan lebih lanjut mengenai teknologi untuk mengolah amonia yang dapat digunakan oleh pembangkit listrik. Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah bisa mengajak universitas untuk mengembangkan co-firing, sehingga pada saatnya bisa 100% menggunakan amonia.
Baca Juga: Kualitas Udara Memburuk, Warga Jakarta Menanti Implementasi Pajak Karbon 2025 Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan, saat ini, hidrogen hijau dan amonia hijau sedang diuji-coba untuk co-firing PLTU. "Hasil awal dari uji coba menunjukkan bahwa co-firing amonia dapat mengurangi emisi CO2 secara signifikan tanpa mengorbankan efisiensi operasional pembangkit," kata dia. Meski demikian, hasil ini bervariasi tergantung pada proporsi amonia yang digunakan dan karakteristik teknis PLTU. Menurut Dadan, tantangan teknis yang dihadapi meliputi penanganan korosi dan pengendalian emisi NOx (nitrogen oksida) yang dapat meningkat karena pembakaran amonia. Selain itu, Dadan juga sedang dilakukan penelitian dan studi terkait pengaruh besaran/persentase campuran amonia terhadap biaya pokok pembangkitan tenaga listrik. "Ke depannya jika keekonomian sudah tercapai, maka sesuai roadmap NZE dan RUKN, hidrogen dan amonia bisa diterapkan pada PLTU lainnya," kata dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Avanty Nurdiana