PLTU Batang harus segera direalisasikan



JAKARTA. Pemerintah mulai gerah dengan sikap PT Adaro Power yang mengulur-ulur waktu pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Batang, Jawa Tengah. Proyek setrum senilai US$ 3,5 miliar itu sudah bisa dikerjakan karena 80% lahan telah selesai pembebasannya.

Direktur Pengembangan Kerja Sama Pemerintah Swasta (KPS) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Bastary Pandji Indra mengatakan, dari kebutuhan 226 hektare (ha) lahan yang dibutuhkan, sekitar 20 ha belum bebas. Artinya sudah lebih 80% lahan yang berstatus clean dan clear.

Pada kenyataannya sampai saat ini Adaro masih belum melaksanakan konstruksi. Menurut Bastary, sisa lahan bisa dipenuhi seiring pembangunan. Apalagi Adaro memang telah mempertimbangkan dimulainya pembangunan proyek tersebut.


Permasalahan pembiayaan selalu menjadi alasan mengapa pembangunan itu baru sekedar rencana. Anak usaha PT Adaro Energy Tbk ini mengaku tidak bisa mencairkan dana pinjaman dari Japan Bank International Corporation (JBIC) sebelum 100% tanah berhasil dibebaskan.

JBIC adalah penyandang dana terbesar proyek PLTU berkapasitas 2x1.000 megawatt tersebut. Dari investasi US$ 3,5 miliar, atau lebih dari Rp 35 triliun, sebanyak 60%-70% dibiayai JBIC. "70% pinjaman, sisanya 30% dari Adaro," ujar Bastary ke KONTAN akhir pekan lalu.

Dengan komposisi seperti itu, bisa saja pembangunan tetap terlaksana jika Adaro mau menggunakan uang sendiri untuk memulai proyek. Penggunaan dana kas sendiri inilah yang terus didesak pemerintah. Selain JBIC, Adaro juga bekerjasama dengan J-Power dan Itochu Jepang.

Pemerintah memang sangat berharap PLTU Batang segera dibangun. Menurut Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Luky Eko Wuryanto, setiap hari terjadi inefisensi sebesar Rp 40 miliar akibat belum terbangunnya PLTU Batang.

Inefisiensi terjadi karena pemerintah menggunakan bahan bakar minyak untuk menghidupkan listrik Jawa dan Bali.

Sayang sampai kemarin, manajemen Adaro belum bisa diminta konfirmasi. Yang pasti menurut Ekonom Universitas Indonesia (UI) Lana Soelistianingsih, pemerintah harus memberi kepastian pembebasan lahan. "Itu pertimbangan bisnis," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa