PLTU Bukit Asam dihentikan sementara



JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengakui menghentikan sementara operasi PLTU Bukit Asam 4x65 megawatt (MW). Namun, jika nanti permintaan di Sumatra Selatan (Sumsel) meningkat, PLTU tersebut akan kembali diaktifkan.

Saat ini beban puncak Sumsel mencapai 574 MW, sementara total daya pembangkit 760 MW alias terjadi surplus.

Seperti diketahui, Serikat Pekerja PLN (SP PLN) sebelumnya menyayangkan keputusan PLN yang menghentikan PLTU Bukit Asam pada 2 November 2016. Ini setelah PLTU Sumsel V berkapasitas 2x150 MW milik PT DSSP Power Sumsel (DSSP), anak usaha PT Dian Swastatika Santosa Tbk (DSSA) sudah beroperasi.


Penghentian itu merupakan konsekuensi PLN yang wajib membeli listrik (take or pay) dari PLTU Sumsel 5. Sehingga PLN mengorbankan PLTU Bukit Asam yang sudah beroperasi dengan biaya murah.

I Made Suprateka, Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN, mengatakan, SP PLN keliru dalam memahami masalah ini. Kalaupun ada penghentian di pembangkit-pembangkit PLN, sifatnya hanya sementara. Apalagi dengan segera selesainya jaringan transmisi interkoneksi di Sumatra, tentu membutuhkan pasokan daya.

Menurut Made, penghentian pembangkit itu tidak lama. Mengingat neraca daya beban puncak di Sumatra cepat meningkat. Apalagi dengan sudah dibangunnya jaringan transmisi, nanti PLN bisa menyuplai ke seluruh Sumatra Utara.

Bukan diberhentikan permanen tetapi sementara saja," tegas Made kepada KONTAN, Kamis (5/1).

Selama ini PLN telah menjalankan aturan take or pay yang mengharuskan perusahaan membeli listrik seusai dengan power purchase agreement (PPA) yang telah disepakati. Namun, bukan berarti take or pay membuat PLN menghentikan pembangkit milik PLN lain.

Ini juga berlaku bagi ketenagalistrikan yang ada di Pulau Jawa, bila nantinya PLTU Batang dan PLTU Jawa 7 selesai dibangun. Tidak ada pembangkit di Jawa milik PLN yang akan dihentikan gara-gara PLTU Batang dan PLTU Jawa 7.

"Penghentian pembangkit hanya bagi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang tidak efesien," ujarnya.

Arthur Simatupang, Ketua Harian Asosiasi Produsen Listrik Seluruh Indonesia (APLSI), mengatakan, aturan take or pay yang sudah berlaku sebelumnya merupakan bagian dari PPA antara PLN dengan pengembang listrik swasta yang sudah disepakati bersama.

"Take or pay itu garansi bagi pengembang bahwa investasi yang mereka tanam nanti bisa kembali," terang Arthur.

Dia malah mengkritik, PLN yang saat ini mencari pengembang listrik yang berani menjual listrik dengan harga murah. Dengan harga murah ke PLN, maka pengembang listrik menyesuaikan teknologi pembangkit menjadi lebih rendah atau malah ke kontraktor engineering, procurement and construction (EPC) yang kurang mumpuni.

"PLN jangan hanya fokus ke tarif. Selama ini hanya mencari kontrak PPA dengan harga termurah, karena sistemnya bidding. Kita harus masukkan di bawah harga perkiraan sendiri (HPS) panitia tender," ujarnya.

Imbas harga murah, kualitas pembangkit jadi disesuaikan. Apalagi mengenai keandalan pasokan yang bisanya berjangka waktu selama 25 tahun ke depan. Kelistrikan merupakan proyek jangka panjang yang membutuhkan keberlanjutan.

"Untuk memastikan kendalan agar tidak terjadi shut down, fokus ke kualitas," kata Arthur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie