PM Jepang: Situasi Keamanan Terparah Sejak Perang Dunia II, Militer Harus Diperkuat



KONTAN.CO.ID - TOKYO. Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, kembali menggaungkan niatnya untuk memperkuat militer negara. Kali ini, Kishida menyebut Jepang sedang dihadapkan pada situasi keamanan paling parah sejak Perang Dunia II.

Dalam pidatonya di hadapan parlemen hari Senin (23/1), Kishida berjanji untuk mendorong pembangunan militer di bawah strategi keamanan yang baru dan berlaku selama lima tahun ke depan.

Bulan Desember lalu pemerintah Kishida juga menegaskan akan melakukan reformasi pertahanan dan keamanan, termasuk menghidupkan kembali kemampuan serangan balik.


Langkah itu bertolak belakang dengan prinsip pasif Jepang yang telah dijaga sejak Perang Dunia II berakhir, di mana Jepang hancur akibat bom atom AS.

Baca Juga: Jepang Diprediksi Akan Berperan Penting dalam Pemulihan Ukraina

Saat ini Kishida melihat bahwa penempatan sistem anti-rudal tidak cukup untuk mempertahankan diri dari pesatnya pembangunan senjata China dan Korea Utara.

"Strategi keamanan baru Jepang didasarkan pada simulasi realistis, kita menghadapi lingkungan keamanan yang paling parah dan kompleks sejak akhir Perang Dunia II dan pertanyaan apakah kita dapat melindungi nyawa orang dalam keadaan darurat," kata Kishida seperti dikutip AP News.

Kishida turut menjelaskan bahwa kebijakan barunya ini memang berubah sangat drastis dari kebijakan keamanan sebelumnya, namun ia meyakinkan kebijakan ini masih dalam batasan konstitusi pasifis dan hukum internasional Jepang.

Baca Juga: Selangkah Lagi, Jepang Naikkan Pajak di Tiga Sektor untuk Perkuat Pertahanan

"Saya tegaskan bahwa tidak akan ada perubahan sedikit pun dari prinsip non-nuklir dan 'hanya bertahan' Jepang, tetap ada di langkah sebagai negara yang cinta damai," lanjut Kishida.

Di bawah kebijakan Kishida, Jepang berencana menggandakan anggaran pertahanannya dalam lima tahun menjadi 43 triliun yen atau sekitar Rp 4.964 triliun.

Demi bisa mendapat anggaran itu, pemerintah Kishida merencanakan adanya kenaikan pajak di beberapa sektor. Rencana ini memicu kritik dari pelaku usaha, anggota parlemen dari kubu oposisi, bahkan dari partainya sendiri.