PMA Pilih Kepastian Hukum Ketimbang Insentif



Meskipun Asia Business Outlook yang dikeluarkan oleh Economist Corporate Network awal tahun ini menobatkan Indonesia sebagai negara tujuan investasi ke 3 di Asia setelah China dan India, rupanya hal tersebut belum tentu membuat para Penanaman Modal Asing (PMA) yang sudah beroperasi di Indonesia ikut meningkatkan investasinya. Pasalnya, para PMA ini berharap selain iklim investasi yang baik, mereka juga menginginkan kepastian hukum yang mendukung dunia usaha.

Seperti yang tergambar dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dari 120 responden PMA (Penanaman Modal Asing), ternyata mayoritas lebih menginginkan kepastian hukum dibanding mendapatkan insentif dari pemerintah. "Sebanyak 89% menginginkan produk hukum yang lebih baik untuk menjamin kelanjutan investasi mereka di sini," tutur Dian Puji Simatupang, pakar Hukum Keuangan Negara, Universitas Indonesia.

Kepastian hukum ini, lanjut Dian, merupakan instrumen utama dalam menciptakan pertumbuhan investasi para PMA. Tanpa kepastian hukum yang jelas, malah justru akan membuat iklim usaha yang tak sehat. Sebanyak 120 responden yang menjadi narasumber tersebut berasal dari berbagai sektor usaha, seperti migas, infrastuktur, ritel hingga perusahaan investasi. "Rata-rata PMA yang menjadi narasumber kami sudah beroperasi sekitar 10 tahun di Indonesia," katanya.


Beberapa kasus ketidakpastian hukum yang dikemukanan oleh PMA antara lain mengenai dimenangkannya gugatan Renaissance Capital Management Investment Pte Ltd terhadap Merrill Lynch International Bank Ltd. Dimana Mahkamah Agung telah memutuskan Renaissance yang dimiliki Prem Harjani berhak mendapat ganti sebesar Rp 251 miliar. Padahal sebelumnya di Pengadilan Tinggi Singapura, telah memutuskan bahwa Prem Harjani telah melakukan penipuan dan Renaissance telah mengakui hutangnya kepada Merrill Lynch.

Tak heran jika banyak kasus PMA yang lebih memilih menghindari berperkara di pengadilan Indonesia. Seperti kasus yang dialami Medley Opportunity Fund di tahun 2012. Ketika berperkara dengan pengusaha lokal, perusahaan asal AS ini lebih memilih pengadilan di Inggris dan Singapura.

Begitupun dengan Churchill Mining, perusahaan asal Inggris, tahun lalu juga memilih mengajukan gugatan ke International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) diĀ  Washington, AS saat bersengketa dengan pemerintah RI dalam kasus pencabutan ijin tambangnya. "Selain itu ada juga soal Chevron. Tapi itu hanya beberapa contoh saja," ujarnya.

Menurut Dian, ada tiga hal yang menjadi perhatian utama PMA. Pertama yaitu produk hukum yang menciptakan kebingungan karena multitafsir. "Jika produk hukumnya multitafsir, maka siapa yang harus dijadikan acuan," katanya.

Yang kedua yaitu, sistem hukum peradilan dimana Indonesia itu menganut pada hukum Belanda, tetapi ketika ada perkara, banyak menggunakan dasar hukum dan berubah-rubah. Sedangkan yang ketiga yaitu Resiko Politik. Dimana setiap pergantian pejabat maka kebijakan yang dibuat juga mengalami perubahan sehingga membingungkan investor.

Dalam penelitian itu juga disebutkan bahwa jika kondisi ini terus berlangsung, PMA belum bisa memastikan apakah akan terus melakukan investasinya di Indonesia atau tidak. "Mereka menjawab dengan kalimat wait and see dan akan mengevaluasi," ungkap Dian.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton J Supit. Menurutnya faktor hukum menjadi salah satu kunci menjaga iklim investasi yang kondusif. "Memang kepastian hukum ini merupakan yang paling didambakan oleh investor," tegas Anton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan