PMI China Masih Terkontraksi Akibat Daya Beli yang Loyo



KONTAN.CO.ID - BEIJING. Aktivitas manufaktur China merosot ke posisi terendah dalam lima bulan pada Juli. Survei Biro Statistik Nasional (NBS) memaparkan, banyak pabrik-pabrik berjuang menghadapi penurunan pesanan baru dan harga yang rendah. Penurunan ini menjadi tanda jika pada paruh kedua pusat produksi dunia masih akan kesulitan.

Indeks manajer pembelian (PMI) dari data Biro Statistik Nasional (NBS) mengalami kontraksi untuk bulan ketiga, turun menjadi 49,4 dari 49,5 pada bulan Juni. Angka di bawah angka 50 menunjukkan kontraksi. Namun PMI China yang telah dirilis dalam jajak pendapat Reuters di atas perkiraan median sebesar 49,3.

Sentimen tetap suram di antara para produsen karena permintaan domestik semakin terkepung dan tekanan sentimen eksternal seperti ketegangan perdagangan. Kedua hal ini berdampak besar bagi ekonomi China yang bernilai US$ 18,6 triliun dan tumbuh lebih lambat dari yang diharapkan pada kuartal kedua.


Baca Juga: Harga Minyak Mentah Bangkit Usai Israel Balas Serangan Hizbullah

Baik sub-indeks pesanan baru maupun pesanan ekspor baru mengalami kontraksi untuk bulan ketiga pada Juli, sementara tenaga kerja dan pabrik berada di wilayah negatif. "Satu-satunya sisi baiknya adalah hilangnya momentum baru-baru ini tampaknya telah membuat para pejabat lebih serius dalam meningkatkan dukungan kebijakan jangka pendek," kata Gary Ng, asisten ekonom Capital Economics. Kebijakan tersebut cukup mendukung pemulihan aktivitas dalam beberapa bulan mendatang. 

Para pemimpin China mengisyaratkan akan merilis stimulus lebih lanjut untuk meningkatkan pendapatan penduduk guna mendorong kelompok berpenghasilan rendah dan menengah untuk berbelanja dan meningkatkan permintaan domestik, tetapi tidak mengumumkan langkah-langkah spesifik.

Konsumen telah mengurangi pengeluaran untuk barang-barang mahal dan menghindari barang-barang berharga mahal. Penjualan mobil, komponen terbesar dari penjualan eceran China, turun untuk bulan ketiga pada bulan Juni. Starbucks yang memiliki ribuan toko di pasar terbesar kedua, melaporkan penurunan 14% dalam penjualan triwulanan di China karena para peminum kopi tertarik pada penawaran yang lebih murah.

Dan sementara setengah dari 300 miliar yuan obligasi pemerintah jangka panjang yang diumumkan oleh perencana negara China minggu lalu akan dialokasikan untuk mendukung program tukar tambah konsumen. Jumlah tersebut dianggap terlalu sedikit untuk mendorong pemulihan ekonomi secara signifikan, karena hanya setara dengan 0,12% dari output ekonomi dan setara 0,3% dari penjualan eceran tahun 2023.

Konsumsi domestik yang tertekan akibat jatuhnya valuasi properti membuat keluarga merasa lebih miskin karena 70% kekayaan rumah tangga berada di bidang real estat.

Baca Juga: IHSG Turun 0,65% Pada Hari Ini, Simak Proyeksinya untuk Rabu (31/7)

Harga rumah baru turun pada laju tercepat dalam sembilan tahun pada bulan Juni dan subindeks konstruksi PMI tumbuh lebih lambat pada bulan Juli, menunjukkan menurunnya permintaan di sektor properti yang dulunya sangat kuat.

Indeks manajer pembelian (PMI) nonmanufaktur resmi yang mencakup layanan dan konstruksi, melambat menjadi 50,2 pada bulan Juli dari 50,5 bulan sebelumnya.

Ekspor China yang solid sedikit memberikan dukungan kepada para manajer pabrik dalam beberapa bulan terakhir dan menopang target pertumbuhan pemerintah di 5%. Tetapi karena semakin banyak mitra dagang yang mempertimbangkan tarif impor, belum jelas apakah dorongan itu dapat dipertahankan.

Subindeks pesanan ekspor baru menunjukkan permintaan eksternal untuk barang-barang China menurun. Pesanan menunjukkan pemilik pabrik membeli lebih sedikit suku cadang untuk diekspor kembali dalam bentuk barang jadi.

Wang Tao, kepala ekonom UBS China dan kepala ekonomi Asia mengatakan pemotongan lebih lanjut terhadap jumlah yang harus disimpan bank-bank komersial sebagai cadangan dan biaya pinjaman yang lebih rendah dapat dilakukan, tetapi tidak melihat pembuat kebijakan mengambil buku pedoman baru. "Kami memperkirakan dukungan kebijakan yang moderat di sisa tahun 2024 sebagian besar dapat mengikuti pengaturan kebijakan sebelumnya dalam beberapa bulan terakhir, tetapi tanpa stimulus baru yang besar," ujar dia.

Baca Juga: Dibandingkan Negara Tetangga, Biaya Investasi di Indonesia Masih Tinggi

Editor: Avanty Nurdiana