KONTAN.CO.ID – JAKARTA. S&P Global mencatat Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia kembali naik pada bulan pertama kuartal IV-2025, melanjutkan laju ekspansi bulan sebelumnya. Pada bulan Oktober 2025, indeks yang mencerminkan kesehatan sektor manufaktur ini berada di level 51,2, naik dari posisi 50,4 pada bulan September. Untuk diketahui, posisi bulan September sempat turun dari posisi 51,5 pada bulan Agustus. Pemulihan ini turut dirasakan oleh sektor furnitur. Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur menyebut, meski cenderung datar, produksi Oktober berhasil naik tipis dibanding September.
Itu terlihat dari banyak pabrikan melaporkan kenaikan
run-rate produksi dan pengadaan bahan, meskipun tipis. Namun, Sobur menekankan pola tersebut tidak merata antar subsektor. Perbaikan utamanya terasa pada segmen perhotelan atau properti serta ekspor Asia Timur dan Asia Tengah.
Baca Juga: Industri Alkes Belum Rasakan Dampak Kenaikan PMI Manufaktur Dirincikannya, permintaan ritel akhir tahun bakal mengangkat penjualan kategori barang tahan lama. Apalagi, indikator ritel Bank Indonesia (BI) menunjukkan penjualan eceran tumbuh kisaran 3,5% secara tahunan (
year-on-year/yoy) di Agustus. Pun, Sobur lihat segmen furnitur bakal tetap ekspansif menuju kuartal IV-2025. “Ini menjadi dasar
sell-through yang lebih baik dibanding paruh pertama tahun,” sebut Sobur kepada Kontan, Senin (3/11/2025). Kemudian, proyek
hospitality juga mendorong
fit-out (mebel kontrak) di kota besar. Meski hotel nampaknya masih agresif promosi, Sobur bilang perputaran proyek di kuartal III dan IV memberi pipeline kerja lebih baik daripada awal tahun. Sementara itu dari sisi ekspor, pasar AS yang menyerap hingga 60% ekspor masih cenderung berhati-hati. “Ekspor furnitur masih tertekan bila dibandingkan puncak 2021–2022. Perubahan kebijakan atau pungutan di pasar tersebut sangat menentukan,” katanya. Prospek ke depan Menjelang akhir 2025, Sobur melihat prospek industri furnitur cenderung netral dengan dorongan musiman permintaan domestik dan
pipeline proyek perhotelan serta ritel. Sementara di sisi ekspor masih selektif, dengan AS dan Uni Eropa (UE) yang masih hati-hati. Namun ke depannya secara jangka panjang, Sobur mencermati sejumlah peluang. Pertama, pasar global furnitur yang mencapai lebih dari US$ 600 miliar dan tumbuh kisaran 5% per tahun memberi ruang besar bagi Indonesia jika mampu menaikkan diferensiasi desain,
sustainability, dan
service level. Namun, penguatan sumber daya manusia (SDM) dan otomasi melalui CAD/CAM serta digital manufacturing dibutuhkan untuk menurunkan
lead time atau
defect serta menaikkan konsistensi kualitas.
Baca Juga: Industri Mebel dan Kerajinan Penuh Tantangan Meski PMI Manufaktur Kembali Ekspansi Kemudian, material berbasis kayu dan alternatif seperti bambu, rotan, dan serat juga memiliki potensi. Secara khusus, Sobur bilang bambu dilihat sebagai kuda hitam dengan potensi industri yang belum tergarap optimal. Selain itu, efisiensi rantai pasok dan kebijakan dagang yang pro-ekspor, yakni dengan tarif kompetitif terhadap pesaing serta simplifikasi regulasi kayu, bisa menjadi
game changer bagi percepatan. Pasalnya, perlu digarisbawahi, kinerja furnitur sangat sensitif pada akses pasar AS dab UE.
“Dengan eksekusi yang disiplin, furnitur Indonesia tetap bisa tumbuh di atas pasar,” tandas Sobur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News