KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Majelis pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara menguatkan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam perkara dugaan persekongkolan harga motor skuter matik 110-125 cc yang dilakukan oleh PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra Honda Motor (AHM). "Mengadili, dalam eksepsi menolak eksepsi termohon keberatan, dalam pokok perkara, pertama, menolak permohonan keberatan permohonan keberatan satu dan pemohon keberatan dua, kedua, menguatkan putusan KPPU dengan nomor perkara 4/KPPU-I/2016," kata ketua majelis hakim, Titus Tandi, Selasa (5/12). Sebelumnya, pihak PT YIMM dan PT AHM mengajukan keberatan dengan pertimbangan beberapa hal. Di antaranya, lantaran KPPU tidak memeriksa saksi dalam sidang komisi namun diuraikan dalam amar putusan dengan hanya mencantumkan berita acara pemeriksaan. Saksi tersebut ialah Yutaka Herada, yang saat itu menjabat Direktur Marketing PT YIMM yang memang tidak hadir dalam persidangan KPPU. Atas pertimbangan ini, dalam analisa yuridisnya majelis menilai kesaksian Yutaka dalam tahap penyelidikan telah dibuat dalam bentuk berita acara sehingga berita acara ini merupakan alat bukti dokumen. Yutaka memang memberi kesaksian cukup penting dalam perkara ini lantaran mengakui bahwa pihak Yamaha selalu mengekor kenaikan harga skutik dari Honda. Hal ini dilakukan lantaran jika diakumulasi, Yamaha dan Honda menguasai 93% market share penjualan skutik di Indonesia. Lantaran putusan KPPU dikuatkan hakim PN Jakpus, maka Yamaha tetap diminta membayar denda sebanyak Rp 25 miliar sementara Honda dijatuhi denda Rp 22,5 miliar. Hanya saja Deny Sidharta selaku kuasa hukum PT AHM bilang bakal mengajukan kasasi. Namun ia belum menguraikan poin mana yang menjadi keberatan lantaran mesti berkonsultasi dengan pihak perusahaan. Hal yang sama juga diungkapkan Eri Hertiawan, pengacara PT YIMM. "Tentunya kami kecewa karena apa yang kami sampaikan dalam permohonan itu ada dalil-dalilnya. Tapi ternyata majelis mengatakan lain, dan ini akan kami diskusikan dulu dengan klien kami," kata Eri. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
PN Jakpus putuskan Yamaha Honda salah soal kartel
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Majelis pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara menguatkan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam perkara dugaan persekongkolan harga motor skuter matik 110-125 cc yang dilakukan oleh PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra Honda Motor (AHM). "Mengadili, dalam eksepsi menolak eksepsi termohon keberatan, dalam pokok perkara, pertama, menolak permohonan keberatan permohonan keberatan satu dan pemohon keberatan dua, kedua, menguatkan putusan KPPU dengan nomor perkara 4/KPPU-I/2016," kata ketua majelis hakim, Titus Tandi, Selasa (5/12). Sebelumnya, pihak PT YIMM dan PT AHM mengajukan keberatan dengan pertimbangan beberapa hal. Di antaranya, lantaran KPPU tidak memeriksa saksi dalam sidang komisi namun diuraikan dalam amar putusan dengan hanya mencantumkan berita acara pemeriksaan. Saksi tersebut ialah Yutaka Herada, yang saat itu menjabat Direktur Marketing PT YIMM yang memang tidak hadir dalam persidangan KPPU. Atas pertimbangan ini, dalam analisa yuridisnya majelis menilai kesaksian Yutaka dalam tahap penyelidikan telah dibuat dalam bentuk berita acara sehingga berita acara ini merupakan alat bukti dokumen. Yutaka memang memberi kesaksian cukup penting dalam perkara ini lantaran mengakui bahwa pihak Yamaha selalu mengekor kenaikan harga skutik dari Honda. Hal ini dilakukan lantaran jika diakumulasi, Yamaha dan Honda menguasai 93% market share penjualan skutik di Indonesia. Lantaran putusan KPPU dikuatkan hakim PN Jakpus, maka Yamaha tetap diminta membayar denda sebanyak Rp 25 miliar sementara Honda dijatuhi denda Rp 22,5 miliar. Hanya saja Deny Sidharta selaku kuasa hukum PT AHM bilang bakal mengajukan kasasi. Namun ia belum menguraikan poin mana yang menjadi keberatan lantaran mesti berkonsultasi dengan pihak perusahaan. Hal yang sama juga diungkapkan Eri Hertiawan, pengacara PT YIMM. "Tentunya kami kecewa karena apa yang kami sampaikan dalam permohonan itu ada dalil-dalilnya. Tapi ternyata majelis mengatakan lain, dan ini akan kami diskusikan dulu dengan klien kami," kata Eri. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News