KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memberlakukan ketentuan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) produksi batubara dengan tarif berjenjang bagi pemegang IUPK dari PKP2B Generasi I dan IUPK dari PKP2B Generasi I Plus. Ketentuan ini dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2022 yang ditetapkan pada 11 April 2022 lalu. Seperti telah diberitakan Kontan.co.id sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menyampaikan bahwa kehadiran regulasi ini diharapkan dapat mendorong penerimaan negara. “Sekali lagi semangat kita adalah menegaskan negara mendapatkan haknya yang maksimal dari industri batubara dan badan usaha tidak dirugikan dalam penerapannya," ungkap Ridwan dalam Konferensi Pers Virtual, Senin (18/4).
Merujuk kepada ketentuan baru ini, Iuran yang dikenakan berbeda untuk IUPK dari PKP2B Generasi I dan IUPK dari PKP2B Generasi I Plus. Tarif berjenjang yang berlaku untuk IUPK dari PKP2B Generasi I berkisar dari 14% hingga 28%, bergantung pada besaran Harga Batubara Acuan (HBA).
Baca Juga: Berikut Daftar Perusahaan Batubara yang Dikenai Tarif PNBP Produksi Progresif Sementara itu, untuk IUPK dari PKP2B Generasi I Plus tarif berjenjang yang dikenakan berkisar dari 20% hingga 27%, tergantung HBA. Skema tarif berjenjang ini berlaku untuk kegiatan penjualan umum. Sementara untuk penjualan tertentu atau penjualan dalam negeri dikenakan besaran tetap yakni 14%. Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menilai, kebijakan PNBP dengan tarif berjenjang ini sudah sangat tepat, mengingat tren harga batubara sedang tinggi-tingginya. “Negara harus bisa mengambil keuntungan di tengah kenaikan harga batubara saat ini sehingga batubara bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dari PNBP yang diberikan,” tutur Mamit kepada Kontan.co.id (18/4). Meski begitu, Mamit mengakui, kebijakan ini berpotensi mengurangi keuntungan perusahaan batubara. Hanya saja, Mamit berpandangan bahwa kebijakan ini tidak akan membuat pengusaha rugi. Selain itu, kebijakan ini, menurut Mamit, juga cukup adil, sebab besaran tarifnya disesuaikan dengan HBA. “Perhatian yang diperlukan adalah kebijakan ini bisa kontraproduktif bagi para pengusaha di tengah naiknya harga batu bara saat ini. Mereka bisa kurang maksimal dalam menambang karena merasa beratnya beban yang mereka tanggung. Disisi lain kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) terus diperluas untuk industrinya,” imbuh Mamit. Menanggapi aturan baru ini, Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), Febriati Nadira memastikan bahwa ADRO siap mengikuti peraturan yang ditetapkan. “Sebagai perusahaan yang senantiasa menerapkan prinsip tata Kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) kami selalu taat dan siap mengikuti peraturan perundang-undangan yang dipersyaratkan,” ujar perempuan yang akrab dengan sapaan Ira tersebut kepada Kontan.co.id (18/4). Ira tidak merinci, seperti apa kira-kira potensi dampak penerapan kebijakan PNBP baru yang mungkin dirasakan oleh ADRO. Yang terang, Ira memastikan bahwa ADRO akan terus memaksimalkan upaya untuk fokus terhadap keunggulan operasional bisnis inti, meningkatkan efisiensi serta eksekusi strategi demi kelangsungan bisnis dalam jangka panjang. “Kami akan terus mengikuti perkembangan pasar dengan tetap menjalankan kegiatan operasional sesuai rencana di tambang-tambang milik perusahaan dengan fokus untuk mempertahankan marjin yang sehat dan kontinuitas pasokan ke pelanggan,” imbuh Ira.
Baca Juga: PNBP Produksi yang Baru Berpotensi Tekan Industri Batubara, APBI Usulkan Insentif Sementara itu, Direktur PT Bumi Resources Tbk (BUMI), Dileep Srivastava mengatakan, pihaknya masih mengkaji aturan PNBP yang baru ini. Oleh karenanya, ia mengaku masih belum bisa memberi komentar. “Dampaknya masih kami kaji,” ujar Dileep kepada Kontan.co.id (18/4). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi