PNBP Rp 500 miliar masih sekadar mimpi



JAKARTA. Tujuh tahun sudah berlalu sejak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menetapkan pemenang tender broadband wireless access (BWA) di frekuensi di 2,3 GHz pada 27 Juli 2009 lalu. Hingga kini, belum satupun jaringan terbangun sempurna.

Memang, ada operator yang sudah membangun, tapi sayang tak lengkap. Ada pula operator yang bahkan baru berencana membangun. "Saya sudah bilang, rapor merah semua, satu-satunya cara harus konsolidasi, tujuannya meningkatkan skala ekonomi," tandas Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di Gelora Bung Karno Jakarta, Minggu (30/10).

Padahal pemerintah berharap banyak pada realisasi pembangunan jaringan BWA pada frekuensi di 2,3 GHz. Pemerintah ingin merestrukturisasi empat hal, mulai dari penggunaan teknologi, perbaikan skala ekonomi, peningkatan layanan telekomunikasi hingga pengoptimalan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).


Kalau dihitung, minimal pemerintah bisa mengantongi PNBP Rp 450 miliar-Rp 500 miliar dari pembangunan jaringan tersebut.

Secara terpisah, pengamat telekomunikasi Heru Sutadi memperkirakan, pemerintah malah bisa mengantongi PNBP lebih dari Rp 500 miliar. Dia menggambarkan, pembangunan satu base transceiver station (BTS) menelan biaya Rp 2 miliar. Dengan pajak pertambahan nilai (PPn) 10%, berarti pemerintah bisa mengantongi PPn sebesar Rp 200 juta per BTS.

Untuk menjewer para pemenang tender yang tak serius, pemerintah siap memberikan sanksi. Sanksi terberat berupa pencabutan hak pakai frekuensi kepada perusahaan pemenang tender.

Heru berharap, pemerintah tegas menerapkan sanksi. Daripada pemenang tender menimbun frekuensi, lebih baik jatah frekuensinya dilelang ulang ke perusahaan lain yang punya komitmen.

"Harus dihilangkan cara pandang bahwa frekuensi itu adalah aset perusahaan karena suatu saat bisa sewaktu-waktu diambil oleh pemerintah," ujar Heru, yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini