JAKARTA. Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) digugat oleh subkontraktornya, PT Pura Barutama, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. PNRI dituding telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga merugikan Pura Barutama Rp 371,57 miliar. Kuasa hukum penggugat, Dita Oktaviani menuturkan kerugian yang diderita oleh kliennya tersebut berasal dari pembayaran yang belum dilunasi oleh PNRI dalam proyek e-KTP. Padahal menurut pengakuan Dita, antara kliennya dengan PNRI telah dilakukan kesepakatan dalam perjanjian Minutes of Meeting tertanggal 21 Agustus 2011. "Kami adalah subkontraktor PNRI dalam proyek e-KTP yang menggugat kesepakatan secara lisan dalam perjanjian Minutes of Meeting yang telah disepakati oleh para pihak pada 2011 yang lalu," jelas Dita, Selasa (17/2).
Kesepakatan ini dibuat antara PNRI sebagai tergugat I dengan pihak penggugat secara lisan melalui Dirut PNRI Djakfarufin Junus (tergugat II), tim marketing Satrio S. Wirjawan (tergugat III), Isnu E. Wijaya (tergugat IV), dan Yuniarto (tergugat V). Di dalam kesepakatan tersebut dijelaskan bahwa PNRI bersedia melakukan pembayaran paling lambat dua bulan setelah tagihan diberikan dan memberlakukan denda keterlambatan membayar sebesar 1% per bulan. Klausul ini kemudian diminta untuk disertakan di dalam perjanjian tertulis. "Setelah perjanjian dibuat pada tahun 2011, ternyata klausul itu tidak dimasukkan di dalam perjanjian tertulis. Kami sudah mencoba untuk menanyakan ini kepada PNRI tapi tidak mendapat respon," ungkap Dita kepada KONTAN. Ia mengakui PNRI pada awalnya selalu membayar sesuai dengan tagihan yang diminta. Namun permasalahan muncul pada tahun 2012 ketika pekerjaan telah selesai semua, tergugat I mulai tersendat pembayarannya. PNRI sebenarnya telah memenuhi 80% dari total tagihan dengan menyisakan kewajiban sebesar Rp 400 miliar. Mereka berdalih PNRI baru bisa membayar setelah pemerintah memberikan dana kepada PNRI. Namun setelah pihak penggugat mengkonfirmasi kepada pemerintah ternyata sudah dibayarkan 100%. "Kami kejar terus PNRI dan akhirnya mereka mau menyicil sedikit demi sedikit. Tapi sampai sekarang baru dibayarkan 50% saja, setelah itu berhenti. Ketika kami bertemu dengan PNRI, mereka mengatakan kalau uangnya di-hold oleh KPK. Selalu berubah terus alasannya," jelas Dita Di dalam petitumnya, penggugat menuntut ganti rugi materil atas Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan tergugat sebesar Rp 205,98 miliar dengan rincian sebagai berikut, Rp 140,23 miliar yang berasal dari total utang pokok pekerjaan pesanan Inlay Laminasi, Hologram dan Punching e-KTP ditambah dengan total denda sampai akhir bulan Agustus 2014 sebesar Rp 65,58 miliar. Ada pun untuk total hutang pokok pekerjaan Jasa Recycle atas reject sebesar Rp 152,15 juta dan denda sampai akhir bulan Agustus 2014 senilai Rp 9,33 juta. Tagihan ini sesuai dengan perjanjian No 14/P/I/10/2011 dan No 013/PBT-PST/MKT/PKS/X/11 tertanggal 20 Oktober 2011. Selain itu dalam Perjanjian Sewa-menyewa No 004/PBT-PST/MKT/PSM/V/12, No 14/P/I/5/2012, No 005/PBT-PST/MKT/ADD-PSM/VIII/12, dan No 18.2/P.ADD/I/8/2012. Selain menuntut kerugian materil, penggugat juga menuntut ganti rugi immateril kepada tergugat sebesar Rp 100 miliar dan sita jaminan terhadap aset para tergugat berupa sejumlah sebidang tanah yang terletak di Jakarta, Solo, Surabaya, dan Banda Aceh. Serta memohon kepada majelis hakim untuk menghukum para tergugat untuk nenbayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 10 juta setiap hari jika tergugat lalai melaksanakan isi dari perkara ini sampai pemenuhan kewajiban tergugat selesai. Secara terpisah, kuasa hukum tergugat I sampai III, Deddy belum dapat memberikan tanggapan maupun komentar apapun terkait gugatan yang dialamatkan ke pihaknya ini. Ia berdalih pihaknya baru mendapatkan surat kuasa dari para tergugat.
"Maaf, untuk memberikan tanggapan kami belum bisa karena baru saja mendapatkan surat kuasa dari tergugat," jawabnya kepada KONTAN. Perkara dengan nomor 582/PDT.G/2014/PN.JKT.PST ini didaftarkan oleh penggugat sejak 9 Desember 2014 silam. Selain menggugat para tergugat, PT Pura Barutama turut menyerat Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, H. Irman, Sugiharto, kantor akuntan publik Ellya Noorlistyanti & rekan, dan Dewantari Handayani. Perkara PMH ini akan dilanjutkan dengan mediasi yang difasilitasi oleh PN Jakpus dengan hakim Sutarjo sebagai mediator. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto