KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum lama ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan Peraturan BPOM No. 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Pada belied tersebut, terdapat dua pasal tambahan terkait pelabelan risiko bisfenol A (BPA) pada kemasan air minum dalam kemasan (AMDK), yaitu 48A dan 61A. Para produsen diberikan tenggat waktu transisi empat tahun untuk melakukan penyesuaian. Intinya, pada peraturan terbaru itu, BPOM mewajibkan pencantuman potensi bahaya BPA pada AMDK yang menggunakan kemasan polikarbonat, yakni bahan yang biasa digunakan pada galon guna ulang. Sejatinya, BPA tidak hanya pada kemasan pangan, melainkan juga pada barang-barang lain. Misalnya thermal paper y pada kertas ATM/struk belanja, CD, peralatan olahraga, hingga peralatan medis seperti selang kateter dan tambalan gigi. BPA sering dituding sebagai salah satu risiko permasalahan kesehatan. Ditengarai, BPA bersifat sebagai endocrine disruptor, yang bisa menyerupai hormon estrogen, memicu pubertas dini pada anak perempuan, dan berefek pada kelenjar prostat.
Nugraha Edhi Suyatma,Guru Besar Ilmu Rekayasa Proses Pengemasan Pangan, Teknologi Pangan IPB, yang juga ahli polimer menjelaskan, BPA adalah bahan baku pembuatan jenis plastik polikarbonat dan epoksi. BPA diproses dengan bahan lain untuk menjadi polikarbonat. "Kalau sudah jadi polikarbonat, dia menjadi material yang kuat. Kandungan BPA-nya sudah hampir tidak ada lagi, dan yang tersisa pun tidak mudah luruh,” kata Nugraha, Selasa (10/9). Baca Juga: Air Minum Galon Berbahan Polikarbonat Terbukti Tak Terkontaminasi BPA Sisa BPA yang ada pada kemasan polikarbonat atau epoksi baru dapat berpotensi bermigrasi hanya pada kondisi ekstrim. “Polikarbonat itu sangat tahan panas, melting point (titik leleh) 200 derajat celcius. Prada poses distribusi misalnya terkena panas dan sinar matahari selama perjalanan, tidak akan lebih dari 50 derajat. Jadi risiko migrasi sangat kecil," papar Nugraha. Laurentius Aswin Pramono, ahli endokrin-metabolik menjelaskan, pedoman dunia kedokteran dan kesehatan yaitu evidence-based medicine (kedokteran berbasis bukti). Tingkat tertinggi dalam pembuktian ilmiah yaitu studi meta-analisis. “Studi meta-analisis mengompilasi berbagai hasil penelitian lalu dianalisis lagi untuk melihat bagaimana hasil-hasil studi yang ada. Sintesis data harus berbasis penelitian pada manusia, bukan di laboratorium pada hewan coba. “BPA diberikan secara sengaja dalam dosis yang sangat besar, sehingga menimbulkan risiko kesehatan pada hewan coba,” kata Aswin. BPA tidak masuk ke guideline manapun sama sekali. “Belum ada konsensus, BPA menyebabkan diabetes atau kanker. Belum ada sama sekali. Belum ada bukti (penelitian ilmiah) pada manusia. Yang ada hanya penelitian di lab dengan hewan coba,” tandasnya.