KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Upaya mendorong penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap secara masif harus memperhatikan empat pemangku kepentingan, yaitu konsumen, industri, PT PLN (Persero), dan negara. Agar rantai bisnis di sektor ketenagalistrikan ini berjalan lancar dan berkelanjutan, harus ada keadilan untuk semuanya. Ali Achmudi Achyak, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies, mengatakan rancangan Permen ESDM tentang PLTS Atap sebagai pengganti Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 harus melibatkan semua pemangku kepentingan. Apalagi, salah satu klausul dalam draf permen baru tersebut mengatur tata niaga PLTS Atap, yaitu mewajibkan PLN membeli 100℅--dari sebelumnya 65%-- sisa daya yang tidak terpakai oleh konsumen yang ikut mengembangkan PLTS Atap. “Kita harus mencermati klausul ini dari berbagai sisi,” ujar Ali dalam siaran persnya, Senin (16/8).
Pertama dari sisi konsumen listrik, khususnya rumah tangga, komersial dan industri. Merreka selama ini menjadi konsumen murni yang menggunakan listrik dari PLN dan membayar sesuai tarif yang berlaku sesuai peruntukan. Kalaupun ada sektor yang bergerak mandiri menyediakan listrik (Independent Power Producers/IPP), jumlahnya tidak banyak. “Ketergantungan ketiga sektor ini terhadap PLN sangat tinggi, maka ketika terjadi gangguan, seperti blackout, kerusakan jaringan, dan lainnya, bisa sangat merugikan. Ketergantungan berlebihan terhadap satu pemasok listrik ini tentu tidak sehat bagi kelangsungan bisnis,” katanya. Oleh karena itu, menurut Ali, peluang adanya PLTS Atap akan menghadirkan sedikitnya dua manfaat bagi konsumen, yaitu mengurangi ketergantungan total pada listrik PLN dan memproduksi listrik yang sisanya bisa dijual untuk menambah pemasukan atau setidaknya mengurangi biaya listrik. Ali mengatakan adanya pergerakan konsumen murni menjadi konsumen semi produsen (hibrid) ini positif dan perlu didorong dengan memberikan kepastian hukum yang berujung pada kepastian bisnis yaitu sisa listrik akan terjual. “Dampaknya pasti besar terhadap minat investasi dari sektor rumah tangga, komersial dan industri,” katanya. Pihak lain yang juga perlu diperhatikan adalah industri atau produsen perangkat listrik, khususnya produsen dan pemasok panel surya dan baterai untuk PLTS Atap. Sebagai catatan, PLTS Atap ada yang dilengkapi batere penyimpan daya (biasanya off-grid) dan ada pula yang tidak (terutama yang on-grid dengan sistem PLN). Menurut Ali, industri bidang EBT (khususnya PLTS Atap) juga harus didorong sehingga bisa berkembang dan mampu melakukan inovasi teknologi untuk menghasilkan produk yang handal, efektif dan efisien dalam penggunaan EBT. Sebagai entitas bisnis, pastinya butuh juga kepastian hukum dan terbukanya peluang usaha yang berkelanjutan. “Di sinilah peran pemerintah mengatur tata niaga PLTS Atap yang efektif, implementatif dan berkeadilan. Hal yang harus dihindari adalah monopoli dari industri tertentu yang pastinya tidak sehat dalam jangka panjang,” kata dia. Pihak ketiga adalah PLN. BUMN di sektor ketenagalistrikan ini adalah aset besar bangsa yang harus dijaga, ditumbuhkan, dan dikembangkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. PLN mengemban dua tugas utama dan mulia, yaitu entitas bisnis (BUMN) dan pelayan publik. “Sebagai entitas bisnis, PLN harus sehat dan untung agar bisa berkontribusi bagi keuangan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Demikian pula sebagai entitas pelayanan publik, PLN juga harus sehat sehingga bisa melayani masyarakat secara optimal,” katanya. Oleh karena itu, terkait pengembangan PLTS Atap, PLN harus dilibatkan secara aktif menjadi aktor utama dalam pengambilan kebijakan (termasuk penyusunan peraturan, kebijakan harga, pengaturan tata niaga, dll). “Jangan sampai PLN hanya menjadi tukang ‘cuci piring’ dan ‘sapi perah’ dari kebijakan pemerintah yang tidak adil dan hanya menguntungkan pihak tertentu saja,” kata Ali. Dan pihak lainnya adalah negara atau pemerintah. Dalam hal pengembangan EBT sebagai komitmen besar pemerintah terkait bauran energi (energy-mix) yaitu target 23℅ EBT pada 2025 (ini sudah lebih kecil dari komitmen awal visi 25/25, yaitu 25℅ EBT 2025). “Maka sangat wajar jika pemerintah ingin mencapai target tersebut di waktu yang tersisa beberapa tahun lagi,” kata dia. Ali mengatakan semua pihak harus mendukung target pengembangan EBT tersebut, salah satunya pengembangan PLTS Atap yang terbukti bisa dikembangkan secara massif dan partisipatif (melibatkan semua rantai bisnis energi listrik yaitu konsumen, industri, PLN dan negara), potensinya cukup besar (sekitar 32 GW), teknologinya semakin ‘mature’ dan ‘proven’. “Tinggal yang harus dipikirkan adalah aspek keekonomian dan keadilan dalam bisnis sebagai syarat utama keberlanjutan (sustainability),” tegas dia. Abra Talattov, Kepala Centre of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menilai target capaian bauran energi memang penting untuk dicapai. Namun, menurut dia, ada yang lebih penting yakni sejauh mana kesiapan dan rasionalitas dalam mencapai target tersebut. PLN sebagai satu-satunya BUMN kelistrikan jangan sampai mengalami masalah fundamental akibat kebijakan yang tidak tepat. “Pemerintah harus hati-hati. Ibaratnya orang naik mobil, lalu ngebut malah mogok atau bahkan kecelakaan di jalan. Jadi, harus dipersiapkan secara matang dari sisi teknis dan lainnya,” papar Abra. Menurut dia, mengembangkan investasi di sektor EBT boleh saja, tapi bukan berarti mewajibkan semuanya harus diserap oleh PLN. Pasalnya, saat ini PLN sudah dalam kondisi oversupply, terutama dengan masuknya sejumlah PLTU dari program 35.000 MW. “Di sini, PLN bisa dikatakan sudah berkorban karena harus menyerap listrik dari IPP yang kebanyakan PLTU dan harus mengesampingkan PLTU nya sendiri. Jangan sampai kebijakan yang sama terulang untuk PLTS. Boleh saja menggelar karpet merah investasi untuk PLTS, tapi jangan mengorbankan PLN,” tegasnya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) benar-benar akan mewujudkan ketentuan ekspor 100% bagi pelanggan PLTS Atap kepada PLN. Artinya, PLN wajib membeli 100% harga listrik yang dijual oleh pelanggan. Seperti diketahui Kontan.co.id mendapatkan draf Permen ESDM Tentang PLTS Atap Yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Permen ESDM ini tengah diharmonisasi dan akan dikirim ke Presiden Joko Widodo. Pasal yang menjadi perdebatan adalah soal ketentuan PLN membeli 100% harga listrik yang dijual pelanggan PLTS Atap artinya PLN harus membeli listrik seharga Rp 1.440 per kWh dari pelanggan PLTS Atap. Sebelumnya PLN hanya membeli 65% dari harga listrik saat ini. Dalam aturan yang belum ada nomornya itu menyebutkan pada bagian kedua soal Perhitungan Ekspor dan Impor Energi Listrik Pasal 6 menuliskan: (1) Energi listrik Pelanggan PLTS Atap yang diekspor, dihitung berdasarkan nilai kWh Ekspor yang tercatat pada Meter kWh Ekspor-Impor dikali 100% (seratus persen). (2) Perhitungan energi listrik Pelanggan PLTS Atap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh Impor dengan nilai kWh Ekspor. (3) Dalam hal jumlah energi listrik yang diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari jumlah energi listrik yang diimpor pada bulan berjalan, selisih lebih akan diakumulasikan dan diperhitungkan sebagai pengurang tagihan listrik bulan berikutnya. (4) Perhitungan selisih lebih sebagai pengurang tagihan listrik bulan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berlaku selama 6 (enam) bulan dan dilaksanakan pada periode: a. Januari sampai dengan Juni dan dinihilkan pada bulan Juli tahun berjalan; dan b. Juli sampai dengan Desember dan dinihilkan pada bulan Januari tahun berikutnya. (5) Dalam hal pemasangan Sistem PLTS Atap dilakukan setelah bulan Januari, selisih lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung sejak Sistem PLTS Atap mulai beroperasi sampai bulan Juni tahun berjalan. (6) Dalam hal pemasangan Sistem PLTS Atap dilakukan setelah bulan Juli, selisih lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung sejak Sistem PLTS Atap mulai beroperasi sampai bulan Desember tahun berjalan.
Sementara itu, Pasal 17 menyebutkan: (1) Pemegang IUPTLU wajib menyediakan dan memasang Meter kWh Ekspor-Impor energi listrik bagi Pelanggan PLTS Atap yang telah memenuhi ketentuan wajib SLO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 atau Pasal 15. (2) Meter kWh Ekspor-Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan dan dipasang oleh Pemegang IUPTLU paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak SLO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) diterima oleh Pemegang IUPTLU dari Pelanggan PLTS Atap. (3) Biaya penyediaan dan pemasangan Meter kWh Ekspor-Impor energi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung oleh Pelanggan PLTS Atap. Pasal 18 Sistem PLTS Atap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, tidak dikenai biaya kapasitas (capacity charge) dan biaya pembelian energi listrik darurat (emergency energy charge) yang merupakan bagian dari biaya operasi paralel. Pasal 19 (1) Dalam hal Sistem PLTS Atap dibangun dan dipasang oleh Pelanggan PLTS Atap dari golongan tarif untuk keperluan industri, dikenai biaya kapasitas (capacity charge) yang merupakan bagian dari biaya operasi paralel. (2) Biaya kapasitas (capacity charge) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan setiap bulan. (3) Biaya kapasitas (capacity charge) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan formula sebagai berikut: biaya kapasitas (capacity charge) = kapasitas total inverter dalam kiloWatt (kW) x 5 (lima) jam x tarif tenaga listrik. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini