JAKARTA. Niat untuk menertibkan Lembaga Keuangan Mikro dalam RUU Lembaga Keuangan Mikro (LKM) masih harus melewati perjalanan panjang karena banyaknya perbedaan antara DPR dan pemerintah. Dalam RUU yang ditargetkan selesai tahun ini, pemerintah diwakili oleh Kementerian Keuangan, Kemenkoperasi dan UKM, dan Kemenhukham. Beleid ini bertujuan untuk menertibkan sekitar 600.000 LKM yang terdiri atas berbagai bentuk, baik yang menguntungkan ataupun merugikan masyarakat. Deputi Menteri Bidang Pembiayaan Kemenkop UKM Pariaman Sinaga mengaku RUU tersebut masih banyak memiliki benturan dalam tataran operasional. Ia mengatakan jika konsep yang ditawarkan oleh DPR ini bagus namun memiliki banyak kerancuan yang harus dibicarakan secara menyeluruh. Salah satu perbedaan mendasar antara konsep DPR dan pemerintah ini dicontohkannya dengan definisi LKM yang dikatakan tidak mencari keuntungan, sedangkan di pasal lainnya disebutkan badan hukum LKM berbentuk Koperasi atau BumDes yang jelas mencari keuntungan. "Kalau tujuannya tidak mencari keuntungan, maka ini tidak bisa mengatur rentenir," ujar Pariaman. Pengaturan mengenai BumDes diprediksi juga akan menimbulkan masalah baru karena masih menunggu RUU Desa yang sedang dibahas di DPR. Menurut Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Raydonizar Moenek, aturan mengenai BumDes masih bermasalah karena desa belum diatur menjadi sebuah entitas. Ia juga menambahkan peran BumDes untuk LKM masih menunggu disesuaikan dengan revisi UU 32 tahun 2009 tentang Pemda dan PP no 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah."Peran BumDes untuk LKM masih harus menunggu harmonisasi aturan lainnya," ujar Raydonizar. Perbedaan pandangan tersebut muncul karena RUU LKM masih belum mempunyai kejelasan akan diatur sebagai koperasi atau bank, yang telah mempunyai ketetapan aturan. Karena itulah Pariaman mengatakan jika opsi terbaik saat ini ialah menjadikan LKM berbentuk Koperasi Simpan Pinjam, dibandingkan harus menjadi bank dan diatur oleh OJK nantinya. Ia mengklaim sebanyak 9500 LKM telah beralih menjadi koperasi simpan pinjam sejak diterbitkannya SKB empat menteri di tahun 2009 tentang LKM."Jika menjadi bank dan diatur dalam OJK maka itu akan memberatkan LKM itu sendiri," ujar Pariaman. Perdebatan lainnya ialah siapa pihak yang akan bertanggungjawab untuk menjamin simpanan dalam LKM tersebut. Dalam hal ini pemerintah mengusulkan agar dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan LKM yang berbeda dengan LPS yang menjamin simpanan dalam perbankan pada umumnya. Sedangkan dalam hal ini koperasi masih belum memiliki lembaga penjamin simpanan. Tidak hanya itu dalam hal pengawasan dan pembinaan, pemerintah mengusulkan agar dilakukan oleh OJK karena ini merupakan lembaga keuangan yang diawasi oleh Bapepam LK yang akan dilebur ke dalam OJK. Dalam hal ini anggota DPR Hendrawan Supratikno keberatan dengan usulan pemerintah yang akan mengarahkan LKM dalam OJK. Menurut anggota fraksi PDIP ini, hal itu tidak sesuai dengan semangat awal LKM yang diperuntukkan bagi ekonomi mikro yang tidak terakomodasi oleh sistem perbankan konvensional."Respons dari pemerintah sudah jauh berbeda dari usulan DPR," ujar Hendrawan. Menurut Hendrawan inti dari LKM ini ialah bentuk dari ketidakpercayaan masyarakat kecil pada sistem perbankan nasional yang hanya menguntungkan kalangan menengah ke atas. Oleh karena itu LKM diharapkan menjadi sistem alternatif yang lebih fleksibel pada kalangan miskin yang menjadi penduduk mayoritas. ia juga menambahkan jika bank akan merugikan bagi nasabah yang memiliki simpanan di bawah Rp 10 juta. "Biaya operasional yang dipungut bank itu sangat merugikan masyarakat miskin," ujar Hendrawan. Sedangkan menurut Chief Economist Permodalan BMT Awalil Rizky berpendapat sebaiknya pengaturan mengenai LKM diatur secara bertahap. Ia menyarankan jika dalam 10 tahun pertama maka LKM sebaiknya dijadikan sebagai koperasi untuk mempersiapkan mekanisme yang lebih matang. Nantinya baru LKM akan diatur dalam OJK, karena khawatir jika OJK nantinya akan mengalami kendala untuk mendata seluruh LKM yang ada di Indonesia, sedangkan OJk juga merupakan lembaga baru."Kemungkinan OJK akan kesulitan dalam pendataan dan akan semakin mempersulit perkembangan LKM," ujar Awalil. Namun menurutnya opsi untuk mengadopsi dalam bentuk koperasi juga tidak masalah asalkan KemenkopUKM memperbaiki kinerjanya. Selain itu KemenkopUKM juga harus memperkuat kerjasama dengan seluruh asosiasi koperasi untuk mendapatkan data yang lebih akurat. Menurutnya LKM yang sangat kecil sangat sulit untuk dilacak karena tidak mempunyai status yang jelas.
Polemik RUU lembaga keuangan mikro masih berat
JAKARTA. Niat untuk menertibkan Lembaga Keuangan Mikro dalam RUU Lembaga Keuangan Mikro (LKM) masih harus melewati perjalanan panjang karena banyaknya perbedaan antara DPR dan pemerintah. Dalam RUU yang ditargetkan selesai tahun ini, pemerintah diwakili oleh Kementerian Keuangan, Kemenkoperasi dan UKM, dan Kemenhukham. Beleid ini bertujuan untuk menertibkan sekitar 600.000 LKM yang terdiri atas berbagai bentuk, baik yang menguntungkan ataupun merugikan masyarakat. Deputi Menteri Bidang Pembiayaan Kemenkop UKM Pariaman Sinaga mengaku RUU tersebut masih banyak memiliki benturan dalam tataran operasional. Ia mengatakan jika konsep yang ditawarkan oleh DPR ini bagus namun memiliki banyak kerancuan yang harus dibicarakan secara menyeluruh. Salah satu perbedaan mendasar antara konsep DPR dan pemerintah ini dicontohkannya dengan definisi LKM yang dikatakan tidak mencari keuntungan, sedangkan di pasal lainnya disebutkan badan hukum LKM berbentuk Koperasi atau BumDes yang jelas mencari keuntungan. "Kalau tujuannya tidak mencari keuntungan, maka ini tidak bisa mengatur rentenir," ujar Pariaman. Pengaturan mengenai BumDes diprediksi juga akan menimbulkan masalah baru karena masih menunggu RUU Desa yang sedang dibahas di DPR. Menurut Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Raydonizar Moenek, aturan mengenai BumDes masih bermasalah karena desa belum diatur menjadi sebuah entitas. Ia juga menambahkan peran BumDes untuk LKM masih menunggu disesuaikan dengan revisi UU 32 tahun 2009 tentang Pemda dan PP no 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah."Peran BumDes untuk LKM masih harus menunggu harmonisasi aturan lainnya," ujar Raydonizar. Perbedaan pandangan tersebut muncul karena RUU LKM masih belum mempunyai kejelasan akan diatur sebagai koperasi atau bank, yang telah mempunyai ketetapan aturan. Karena itulah Pariaman mengatakan jika opsi terbaik saat ini ialah menjadikan LKM berbentuk Koperasi Simpan Pinjam, dibandingkan harus menjadi bank dan diatur oleh OJK nantinya. Ia mengklaim sebanyak 9500 LKM telah beralih menjadi koperasi simpan pinjam sejak diterbitkannya SKB empat menteri di tahun 2009 tentang LKM."Jika menjadi bank dan diatur dalam OJK maka itu akan memberatkan LKM itu sendiri," ujar Pariaman. Perdebatan lainnya ialah siapa pihak yang akan bertanggungjawab untuk menjamin simpanan dalam LKM tersebut. Dalam hal ini pemerintah mengusulkan agar dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan LKM yang berbeda dengan LPS yang menjamin simpanan dalam perbankan pada umumnya. Sedangkan dalam hal ini koperasi masih belum memiliki lembaga penjamin simpanan. Tidak hanya itu dalam hal pengawasan dan pembinaan, pemerintah mengusulkan agar dilakukan oleh OJK karena ini merupakan lembaga keuangan yang diawasi oleh Bapepam LK yang akan dilebur ke dalam OJK. Dalam hal ini anggota DPR Hendrawan Supratikno keberatan dengan usulan pemerintah yang akan mengarahkan LKM dalam OJK. Menurut anggota fraksi PDIP ini, hal itu tidak sesuai dengan semangat awal LKM yang diperuntukkan bagi ekonomi mikro yang tidak terakomodasi oleh sistem perbankan konvensional."Respons dari pemerintah sudah jauh berbeda dari usulan DPR," ujar Hendrawan. Menurut Hendrawan inti dari LKM ini ialah bentuk dari ketidakpercayaan masyarakat kecil pada sistem perbankan nasional yang hanya menguntungkan kalangan menengah ke atas. Oleh karena itu LKM diharapkan menjadi sistem alternatif yang lebih fleksibel pada kalangan miskin yang menjadi penduduk mayoritas. ia juga menambahkan jika bank akan merugikan bagi nasabah yang memiliki simpanan di bawah Rp 10 juta. "Biaya operasional yang dipungut bank itu sangat merugikan masyarakat miskin," ujar Hendrawan. Sedangkan menurut Chief Economist Permodalan BMT Awalil Rizky berpendapat sebaiknya pengaturan mengenai LKM diatur secara bertahap. Ia menyarankan jika dalam 10 tahun pertama maka LKM sebaiknya dijadikan sebagai koperasi untuk mempersiapkan mekanisme yang lebih matang. Nantinya baru LKM akan diatur dalam OJK, karena khawatir jika OJK nantinya akan mengalami kendala untuk mendata seluruh LKM yang ada di Indonesia, sedangkan OJk juga merupakan lembaga baru."Kemungkinan OJK akan kesulitan dalam pendataan dan akan semakin mempersulit perkembangan LKM," ujar Awalil. Namun menurutnya opsi untuk mengadopsi dalam bentuk koperasi juga tidak masalah asalkan KemenkopUKM memperbaiki kinerjanya. Selain itu KemenkopUKM juga harus memperkuat kerjasama dengan seluruh asosiasi koperasi untuk mendapatkan data yang lebih akurat. Menurutnya LKM yang sangat kecil sangat sulit untuk dilacak karena tidak mempunyai status yang jelas.