Polisi selidiki investasi emas



SURABAYA. Kepolisian Daerah Jawa Timur mulai menyelidiki dugaan penipuan investasi emas di Surabaya dengan menindaklanjuti laporan nasabah Raihan Jewellery. Nasabah mengakui imbal hasil yang dijanjikan manajemen Raihan dihentikan sejak Desember 2012.

”Ada empat orang yang melaporkan. Sekarang ini polisi masih mengembangkan kasus tersebut,” ujar Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jatim Komisaris Besar Hilman Thayib di Surabaya, Jatim, Kamis (28/2/2013).

Hilman menambahkan, nasabah Raihan Jewellery melaporkan pemilik perusahaan, kepala cabang Surabaya, dan pengurus cabang Surabaya ke Polda Jatim pada Senin lalu atas dugaan penipuan. Saat ini, berkas laporan tersebut telah diproses oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jatim.


Ketika ditemui, AML (46), salah satu pelapor, mengaku rugi hingga Rp 850 juta sehingga memberanikan diri melapor kepada polisi. AML berinvestasi Rp 1,8 miliar di Raihan Jewellery untuk membeli emas batangan seberat 2,7 kilogram.

AML mau menanamkan dana untuk investasi emas di Raihan karena diiming-imingi imbal hasil 2,5 persen per bulan. Dalam jangka waktu enam bulan, perusahaan berjanji mengembalikan seluruh dana investasi emas itu.

AML menjadi investor mulai Juli 2012 setelah ditemui langsung oleh M Azhari, pemilik Raihan Jewellery. Awalnya pembayaran imbal hasil berlangsung lancar. Namun, sejak akhir Desember 2012, manajemen Raihan tidak lagi menyetorkan imbal hasil itu kepada nasabah.

”Saya sampai utang ke bank Rp 400 juta untuk menambahkan investasi. Tahunya malah begini. Saya benar-benar tertipu,” kata perempuan yang berencana merenovasi rumah dari keuntungan investasi emas itu.

AML menambahkan, harga emas di Raihan Jewellery lebih tinggi 25-30 persen dibandingkan harga emas di pasaran. Kerugian yang dideritanya merupakan selisih harga emas tersebut.

Kendati telah dilaporkan kepada polisi, sampai kemarin kantor Raihan Jewellery cabang Surabaya masih beroperasi. Namun, kantor yang terletak di Ruko Landmark, Jalan Indragiri, Surabaya, itu tampak sepi.

Salah satu pegawai perempuan yang berjaga di kantor itu menolak diwawancara dan meminta Kompas langsung menghubungi manajemen mereka di Jakarta. ”Pimpinan kami (cabang Surabaya) sedang tidak ada di tempat,” kata pegawai yang tidak mau disebut namanya.

Heribertus (50), salah satu petugas jaga di kantor, mengakui, pada Kamis ini hanya satu nasabah yang mendatangi kantor Raihan. Kantor buka pada pukul 09.00-15.00.

Kardi, petugas parkir di ruko tersebut, mengatakan, kantor Raihan Jewellery menempati ruko itu sejak Januari 2013. ”Sekarang sepi, tapi sekitar tiga minggu lalu ramai didatangi orang,” katanya.

Menurut Kardi, di kantor itu hanya ada empat pegawai yang berjaga. Ia juga mengungkapkan bahwa pada Rabu (27/2/2013), beberapa polisi berpakaian preman mendatangi kantor tersebut.

Dalam situs resminya, di www.raihan-jewellery.com, perusahaan itu masih mencantumkan alamat di Wisma BII Lantai 7 Nomor 715 di Jalan Pemuda, Surabaya. Namun, kantor di Wisma BII itu kini ditempati Modern Cancer Hospital Guangzhou sejak 15 Januari lalu.

Menurut pegawai Raihan Jewellery yang ditemui di kantor Indragiri, kemarin, kantor mereka pindah karena kontrak sewa sudah habis.

Kasus di Jakarta

Setelah menimpa nasabah Raihan Jewellery di Surabaya, kini nasabah Global Traders Indonesia Syariah (GTIS) di Jakarta yang terkena kasus penipuan. Tuti (60), salah satu nasabah GTIS, mengaku sudah sepekan ini imbal hasil bulanan belum juga dia terima. ”Seharusnya saya terima cashback Rp 1,436 juta pekan lalu, tetapi sampai sekarang belum juga saya terima. Saya dengar bos GTIS lari ke luar negeri,” ujarnya.

Tuti menuturkan, pihak agen menyarankan agar dirinya tenang dan menunggu hasil keputusan pihak GTIS. ”Kata agen saat ini sedang diupayakan agar investasi itu dipertahankan. Saya investasi karena tergiur imbal hasil yang cukup tinggi,” ujarnya.

Saat itu, dia menanamkan investasi Rp 71,8 juta. Dari investasi itu ia mendapatkan emas Antam seberat 100 gram dan cashback Rp 1,436 juta per bulan.

Dalam investasi tersebut, lanjutnya, ia hanya berhubungan dengan pihak agen. ”Jadi, model investasinya itu beli emas dapat cashback. Di kantor agen dipasang foto sejumlah tokoh, misalnya Marzuki Alie,” ucapnya.

MUI bisa cabut

Namun, Ketua DPR Marzuki Alie hari Kamis menegaskan, dirinya bukan dewan pembina perusahaan investasi emas GTIS. Dia tidak ikut dalam bisnis perusahaan itu dan tidak ada dana dari perusahaan tersebut yang diterimanya.

Marzuki mengatakan, KH Azidin dari Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah datang ke kantornya dan mengenalkan Michael Ong. Saat itu, Michael memperkenalkan perusahaan investasi emas GTIS. Namun, tidak ada pembicaraan bahwa Marzuki menjadi dewan pembina. Setelah pertemuan itu, mereka foto bersama. ”Hanya itu hubungan saya dengannya. Setelah itu saya tidak tahu lagi,” kata Marzuki.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI sekaligus anggota Pleno Dewan Syariah Nasional MUI, Asrorun Niam Sholeh, mengatakan, Dewan Syariah Nasional MUI memberikan rekomendasi sebagai syarat untuk operasi bisnis syariah di Indonesia, termasuk kepada GTIS. Namun, jika kemudian ditemukan bukti-bukti penyimpangan dari ketentuan syariah dalam praktik bisnis itu, MUI bisa mencabut kembali rekomendasi itu.

Beberapa kasus dugaan penipuan investasi emas merugikan masyarakat penanam saham. Beberapa perusahaan yang diduga menawarkan investasi semacam itu ternyata mengusung bisnis syariah dengan rekomendasi dari MUI.

Menurut Asrorun, pada dasarnya semua lembaga bisnis syariah harus memperoleh rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional MUI sebagai persyaratan untuk memperoleh izin beroperasi. Rekomendasi mengikat lembaga itu untuk tunduk dan menjalankan bisnis sesuai dengan ketentuan syariah sebagaimana fatwa MUI. Hal itu antara lain mencakup ketentuan perlunya kejelasan harga pada awal transaksi bagi pembeli dan penjual, harga tetap, tidak ada unsur tipu daya, dan tidak dimaksudkan sebagai sarana spekulasi yang berpotensi merugikan salah satu pihak. (Kompas Cetak/Kompas.com-IAM/NWO/ENY/DEN/ILO/ETA)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: