Politik dan Ekonomi penggerak bursa tahun Ini



Jakarta. Hajatan pemilihan umum (pemilu) tampaknya bakal menjadi bahan bakar utama penggerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada tahun ini. Ditopang kondisi makro ekonomi yang mulai membaik, sepanjang tahun ini IHSG diperkirakan berada dalam tren bullish.

Sejak awal tahun, aliran dana asing ke bursa saham semakin deras. Pada tiga bulan pertama tahun ini, total dana asing yang masuk ke bursa saham mencapai Rp 24,6 triliun. IHSG juga terus bergerak naik. Pada Kamis (3/3), IHSG ditutup di 4.891,32. Jika dihitung sejak akhir tahun 2013, pertumbuhan IHSG mencapai 14,4%.

Minat investor asing yang semakin kuat dan pergerakan IHSG yang terus menanjak tentu bukan tanpa sebab. Tengok saja, data ekonomi Indonesia mulai bergerak positif. Neraca pembayaran Indonesia pada kuartal IV 2013, ambil contoh, tercatat surplus US$ 4,4 miliar. Bandingkan dengan tiga kuartal sebelumnya yang defisit.


Neraca perdagangan per Februari 2014 tercatat surplus US$ 0,79 miliar setelah pada Januari 2014 mengalami defisit US$ 0,45 miliar. Laju infl asi juga menunjukkan tren menurun. Per Januari 2014, laju infl asi tahunan sebesar 8,22%. Tekanan inflasi terus berkurang hingga laju infl asi tahunan per Maret 2014 tercatat 7,32%.

Fundamental ekonomi makro inilah yang tampaknya menjadikan pelaku pasar optimistis terhadap kinerja bursa saham Indonesia. Wilson Sofan, Kepala Riset Reliance Securities, optimistis, IHSG bakal terus mendaki lantaran kondisi ekonomi Indonesia sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan. “Namun, tidak tertutup kemungkinan adanya koreksi di tengah jalan,” kata Wilson.

Optimisme serupa terlontar dari Muhammad Alfi Syahr, analis OSO Sercurities. Menurut dia, sentimen domestik tahun ini masih membawa dampak signifikan bagi pergerakan IHSG. Selama data ekonomi Indonesia positif, Alfi bilang, investor akan kian optimis pada prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga akan berdampak positif juga bagi IHSG.

Analis First Asia Capital David Sutyanto menimpali, dengan data ekonomi yang positif, secara fundamental IHSG berpotensi naik hingga ke level 5.050. Menurut dia, level tersebut sejatinya merupakan nilai wajar IHSG. Nilai wajar tersebut dihitung dengan asumsi rasio harga terhadap laba per saham alias price to earning ratio (PER). Hasilnya, PER 18 kali dan pertumbuhan laba bersih per saham atau earning per share (EPS) 10%–15%.

Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo punya kalkulasi lebih berani. Menurutnya, rata-rata IHSG selama 10 tahun terakhir ditutup pada PER 16,5 kali. Sementara, ratarata EPS selama ini sekitar Rp 320. Maka, nilai wajar IHSG ada di kisaran 5.200. Artinya, kalau rata-rata IHSG saat ini masih di kisaran 4.800, masih jauh di bawah nilai wajar.

Adapun Muhammad Alfatih, analis teknikal dari Samuel Sekuritas punya penilaian yang lebih konservatif. Menurut dia, nilai wajar indeks secara fundamental di level 4.800. Ini merupakan target moderat IHSG tahun ini dengan menggunakan asumsi PER 13 kali.

Sentimen pemilu

Meski begitu, Alfatih mengatakan, bukan tidak mungkin IHSG akan naik lebih tinggi atau malah longsor lebih rendah. “Tergantung kondisi fundamental dan sentimen jangka pendek, seperti pemilu,” kata Alfatih.

Pemilu mau tidak mau memang menjadi sentimen utama penggerak IHSG tahun ini. Setelah Jokowi effect, beberapa momentum pada proses pemilu, seperti hasil pemilu legislatif (pileg), pengumuman calon presiden dan wakil presiden (wapres), hingga hasil pemilu presiden (pilpres), masih akan menentukan arah pergerakan bursa pada tahun ini. Itu sebabnya, Satrio memperkirakan, IHSG akan mencapai puncaknya justru pada saat pemilu.

Menurut Alfi , secara historis penyelenggaran pemilu mendatangkan efek positif bagi IHSG. Apalagi, jika hasil pemilu sesuai ekspektasi pasar, IHSG bakal terus mendaki. Sebaliknya, jika hasil pemilu tidak sesuai ekspektasi pasar, pergerakan IHSG bisa berbalik arah. “Hasil pemilu bisa mengubah banyak hal,” timpal Purwoko Sartono, analis Panin Sekuritas.

Menurut Alfatih, kepemimpinan memang menjadi faktor penting bagi arah pergerakan nvestasi. Pemimpin baru biasanya memberi harapan akan perubahan kinerja pemerintahan sebelumnya. Karena itu, wajar jika sentimen pasar terhadap pemilu selalu positif.

Alfatih menilai, pasar sejauh ini bereaksi positif terhadap pencalonan Jokowi sebagai capres. Jika Jokowi berhasil memenangi pilpres sesuai ekspektasi pasar, target optimistis IHSG tahun ini bisa tercapai.

Meski begitu, Alfatih mengingatkan, kenaikan IHSG pada pilpres juga terjadi pada pilpres sebelumnya. Saat Gus Dur terpilih sebagai presiden RI ketiga, semua pelaku optimistis sehingga mendorong pergerakan IHSG. Begitu pula saat Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden selanjutnya, pasar sangat optimistis.

Namun, di tengah jalan, realisasi kinerja pemerintahan ternyata tak sesuai ekspektasi sehingga pelaku pasar bisa kecewa. Alhasil, sentimen pasar berubah menjadi negatif. “Siapa pun presidennya nanti, hal seperti itu jangan sampai terulang,” saran Alfatih.

Ekspektasi pasar memang akan terus diuji. Tak cuma presiden, pelaku pasar juga akan memperhitungkan siapa wapres yang menjadi pasangan presiden terpilih. Menurut Satrio, jika presiden sudah sesuai harapan pasar namun berpasangan dengan wapres yang tak disukai pasar, sentimen positif tidak akan besar. Malah, IHSG bisa melandai.

Setelah pemilu usai, Satrio bilang, nyaris tidak ada sentimen di dalam negeri yang bisa menggerakkan bursa saham. Bisa jadi, pengalaman tahun lalu bakal terulang saat IHSG mencapai puncak pada Mei 2013 dan setelah itu nyungsep hingga akhir tahun. “Apakah akan ada second high setelah pemilu atau tidak, belum bisa dilihat karena belum ada faktor pendorongnya,” ujar Satrio.

Namun, Wilson memperkirakan, reli IHSG justru baru akan mulai setelah pemilu usai. Setelah pasar mengetahui hasil pemilu, barulah IHSG akan kembali mencoba menembus level tertinggi pada tahun lalu. “Selama pemilu akan bergerak datar dengan kecenderungan naik,” prediksi Wilson.

Risiko ekonomi

Selain pemilu dan kondisi domestik, sentimen penggerak IHSG biasanya datang dari faktor eksternal. Tahun ini, menurut Alfatih, nyaris tidak ada sentimen baru kecuali krisis politik di Ukraina. Program pengurangan stimulus alias tapering off yang dilakukan The Federal Reserve sudah menjadi isu klasik meski tetap perlu diwaspadai. Pelaku pasar akan tetap mencermati data-data ekonomi Amerika Serikat (AS) untuk mengantisipasi langkah The Fed selanjutnya.

Kepala Riset Mandiri Sekuritas John Rachmat menilai, krisis di Ukraina tak akan banyak berpengaruh ke pergerakan IHSG. Ketakutan pelaku pasar terhadap program pengurangan stimulus The Fed juga sudah hilang karena pengurangan stimulus sudah terjadi tiga kali. Dan, ternyata, pengurangan stimulus tidak banyak berdampak terhadap perekonomian.

Yang menjadi ketakutan sekarang adalah rencana kenaikan suku bunga acuan alias The Fed Funds Rate. Banyak analis global memperkirakan, program tapering selesai pada akhir 2014. Dengan demikian, mengacu pada isyarat Gubernur The Fed Janet Yellen, suku bunga AS akan naik pada pertengahan tahun 2015 kelak.

Namun, menurut John, pendapat ini salah. Ia memperkirakan, suku bunga AS akan naik paling cepat pada 2016. Sebab, inflasi AS saat ini masih terjaga di kisaran 1,1%–1,3%. Laju infl asi masih jinak ketimbang batas toleransi The Fed di level 2%.

Sentimen eksternal yang dikhawatirkan pelaku pasar adalah perlambatan ekonomi China. Tahun lalu, perekonomian China tumbuh 7,7%. Sementara, pertumbuhan ekonomi China tahun ini diperkirakan melambat di kisaran 7,4%–7,5%. Meski pertumbuhan ekonomi China tetap paling tinggi di dunia, perlambatan itu akan berdampak pada ekspektasi pelaku pasar. Indonesia juga kena dampak karena China merupakan negara nomor satu tujuan ekspor.

Selain faktor eksternal, perkembangan ekonomi domestik masih akan menjadi penentu arah bursa saham. Menurut David, faktor penggerak IHSG paling besar justru berasal dari dalam negeri. Sementara, faktor eksternal hanya menyumbang 30%. Jadi, kalau situasi global tidak kondusif namun kondisi domestik stabil, pergerakan IHSG akan tetap positif.

Masalahnya, kondisi domestik masih belum jelas. Memang, menurut John, sentimen politik terhadap pergerakan IHSG sudah selesai pada saat Jokowi dideklarasikan sebagai capres dari PDI Perjuangan. Pasar sudah berasumsi Jokowi bakal menang pilpres. Namun, risiko ekonomi masih belum jelas. Alhasil, kondisi ekonomi akan menjadi penentu arah pergerakan indeks pada tahun ini.

Memang, defisit transaksi berjalan dan neraca perdagangan diperkirakan akan membaik. John malah memperkirakan neraca perdagangan akan surplus hingga akhir tahun. Defisit transaksi berjalan juga bakal semakin kecil pada tahun ini.

Sayang, faktor pertumbuhan ekonomi masih menjadi tanda tanya. Sekadar mengingatkan, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) awal Maret lalu merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,8%–6,2% menjadi 5,5%–5,9%. Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini tentu saja akan berimbas ke pelbagai sektor. “Risiko ini yang masih belum jelas,” kata John.

Menurut John, upaya pemerintah dan BI memperbaiki defisit transaksi berjalan dengan cara memperlambat laju pertumbuhan ekonomi merupakan logika yang keliru. Memang, saat ekonomi melambat, defisit transaksi berjalan membaik dan rupiah akan lebih kuat. Namun, pertumbuhan kredit akan ikut melambat dan kinerja sektor riil juga melambat. Alhasil, pendapatan dan laba perusahaan turun. Ujungnya, indeks harga saham akan anjlok.

John memperkirakan, jika pertumbuhan ekonomi mencapai 6%, IHSG bisa meroket ke level tertinggi. Namun, kalau pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 5,6% sesuai perkiraan BI, IHSG akan turun dari posisi saat ini “Fundamental IHSG tergantung pertumbuhan ekonomi,” kata John.

Jadi, pelaku pasar masih harus waspada dan tidak terlena euforia pemilu.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 28 - XVIII, 2014 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Imanuel Alexander