Politik dinasti memicu korupsi di daerah



JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin gencar mengusut kasus dugaan korupsi oleh kepala daerah belakangan ini. Pengamat menilai politik dinasti memang masih terjadi dan rawan praktik korupsi.

Robert Hendri Jaweng, Direktur KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah), menyatakan, langgengnya penguasaan daerah oleh segilintir orang memang rawan praktik korupsi.

Kasus yang melilit Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, nyatanya melibatkan istrinya. "Demikian juga di Cimahi. Itoch yang menjabat dua periode sebagai walikota, dilanjutkan oleh istrinya," kata Robert ketika dihubungi KONTAN, Selasa (6/12).


Menurutnya, ada empat hal yang rawan terjadinya praktik korupsi oleh kepala daerah. Pertama, terkait perijinan terutama di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam. Di Riau misalnya, kepala daerah seperti antre masuk bui.

Kedua, terkait pembahasan APBD. Pada masa ini, korupsi bisa melibatkan pula oknum DPRD. Ketiga terkait pembuatan peraturan daerah (Perda) oleh pejabat eksekutif daerah.

Dan keempat, pengadaan barang dan jasa. Dalam hal ini, proyek infrastruktur yang biasanya jadi jarahan.

Robert bilang berdasarkan penelitian KPPOD, alokasi anggaran perbaikan infrastruktur yang bertambah tidak diikuti kualitas. "Jalan dibiarkan rusak agar tahun depan dapat anggaran lagi. Padahal anggaran tambah terus," tuturnya.

Untuk itu, ia bilang penerapan e-budgeting bisa menjadi salah satu solusi. Meskipun nyatanya masih saja bobol.

Maka itu, perbaikan mentalitas menjadi kuncinya. Seleksi oleh parpol harus sedemikian ketat. Aturan yang membatasi bahwa keluarga bisa meneruskan jabatan harus dibuat pula. "Sayangnya Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan pelarangan politik dinasti," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto