Politik Uang Secara Elektronik Jadi Ancaman Pelaksanaan Pemilu Bersih di 2024



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lolly Suhenty mengatakan, fenomena politik uang secara elektronik menjadi sinyal ancaman bahaya politik uang semakin meningkat.

Pasalnya, dengan praktik politik uang secara langsung saja tidak mudah dilawan, apalagi dengan praktik secara elektronik. Ia menyebut saat ini beragam modus/cara pemberian uang atau barang, sehingga perlu adanya langkah pencegahan yang lebih masif dan adaptif dari adanya potensi politik uang di pemilu tahun depan.

"Karena itu Bawaslu sedang menjajaki dan berupaya sejak awal tahun ini untuk membangun kolaborasi kesepahaman bersama dengan PPATK dan OJK. Karena memang situasi hari ini ke depan soal transaksi elektronik ini menjadi sesuatu yang tantangan nyata, dan kita harus punya strategi untuk mencegahnya," kata Lolly dalam Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024, di Kanal YouTube Bawaslu, Minggu (13/8).


Menurutnya minimnya bukti dan saksi dalam laporan politik uang membuat tindak lanjut laporan kurang optimal dan berhenti di tengah jalan. Oleh karenanya dibutuhkan pendampingan yang optimal di tengah masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya politik uang.

Baca Juga: Penerbitan Obligasi Korporasi Diperkirakan Tertahan Jelang Tahun Pemilu

"Partisipasi publik menjadi modal jadi upaya pencegahan politik uang. Masyarakat permisif terhadap politik uang. Karena ada yang kasih. Yang kasih percaya diri karena masih ada yang menerima politik uang," imbuhnya.

Selain itu, belum optimalnya regulasi dalam menjerat pelaku politik uang (fokus di pelaksanaan, peserta, dan tim kampanye) semestinya tidak menjadi penghambat inovasi dan kreasi dalam agenda pencegahan politik uang.

Lolly menjelaskan, politik uang berpotensi di beberapa lini. Di antaranya, politik uang pada masa kampanye, politik uang sebelum hari pemungutan suara, politik uang secara digital, kegiatan sosial yang diwarnai dengan politik uang, dan program pemerintah yang diwarnai politik uang.

Berdasarkan data Bawaslu politik uang menjadi salah satu dari lima kasus terbesar dalam isu kerawanan pemilu dan pemilihan di tingkat provinsi, kabupaten/kota. Lolly mengungkap ada lima provinsi dengan kerawanan tinggi terjadinya politik uang. Kelima provinsi tersebut adalah Maluku Utara, Lampung, Jawa Barat , Banten dan Sulawesi Utara.

Modus politik uang yang terjadi ialah memberikan uang secara langsung baik cash atau voucher, memberikan barang dan memberikan janji.

"Memberikan langsung ini yang sudah terpotret adalah pembagian uang dengan imbalan memilih, pembagian voucher, politik uang melalui media digital yang di kisaran Rp 20.000 - Rp 200.000. Murah ya? Padahal buat masa depan Indonesia. Ini potret pada pemilu 2019 dan Pilkada 2020 lalu," ungkap Lolly.

Baca Juga: Dana Ilegal Rp 1 Triliun Mengalir ke Parpol, PPATK Mengendus Begini Modusnya

Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, berdasarkan data penanganan pelanggaran di pemilu 2019 politik uang menjadi posisi ketiga. Dimana posisi pertama diduduki oleh netralitas ASN.

Ratna mengharapkan, pemilu 2024 bisa bebas dengan politik uang. Namun fakta di lapangan tentu tak semudah itu. Pasalnya di daerah dengan angka kemiskinan tinggi akan menjadi potensi politik uang tinggi pula.

"Misalnya di Pandeglang Banten, masyarakat di Pandeglang bilang kalau di sana angka partisipasi pemilih sangat dipengaruhi politik uang. Kalau masyarakat diberikan uang maka angka partisipasi tinggi. Ini jadi catatan khusus buat kita," kata Ratna.

Maka dia berharap Bawaslu dapat menyiapkan pendekatan khusus terhadap pencegahan politik utamanya di daerah yang memiliki angka kemiskinan tinggi.

Untuk meminimalisir politik uang perlu dilakukan dengan pemetaan komprehensif mulai dari regulasi, politik lokal hingga budaya di masing-masing daerah. Ia menyebut, ada daerah yang memiliki budaya dalam membagikan uang pada saat pesta besar. Dan hal tersebut terjadi saat pemilu ataupun pemilihan kepala daerah.

"Dan itu dipertanyakan apakah ini bisa masuk kategori pelanggaran politik uang padahal ini adalah bagian dari budaya yang sudah ada sudah tumbuh dan dipelihara. Ini jadi problem buat kita kalau kita biarkan terjadi ini akan jadi mengganggu proses pemilu kita dan. Kalau kita penindakan kita harus temu kenali apakah ini benar bagian dari mempertahankan budaya atau bagian dari mempengaruhi pemilih pada masa kontestasi," jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari