Politisasi rupiah



"Bisa enggak sih, pilpres dipercepat saja?!" Ujaran macam ini semakin sering terdengar. Orang mulai muak dengan cekcok seputar dukung mendukung calon presiden, yang nyaris terjadi di mana saja. Kini, hampir semua hal dipolitisasi, termasuk naik turunnya kurs rupiah.

Saat rupiah anjlok ke Rp 15.250 per dollar AS Oktober lalu, haters nyinyir, seolah pelemahan rupiah semuanya salah pemerintahan Jokowi. Sebaliknya, saat rupiah kini menguat ke kisaran Rp Rp 14.500, bahkan sempat Rp 14.250 (3/12), giliran lovers Jokowi nyinyir dan mengklaim seolah-olah penguatan rupiah semata kehebatan pemerintahan Jokowi.

Tentu, ada andil pemerintah dalam penguatan maupun pelemahan rupiah. Tapi, politisasi mengaburkan persoalan, yang pada akhirnya membuat kita tidak benar-benar membenahi akar masalah.


Sejak manganut sistem nilai tukar mengambang bebas mulai 1997, dan memakai sistem lalu lintas devisa bebas, kita harus siap dengan naik turunnya rupiah. Apa lagi, ekonomi kita mengidap sejumlah persoalan.

Di antaranya, subsidi dan tingginya impor BBM dan rapuhnya manufaktur yang membuat kita sulit menggenjot ekspor nonkomoditas. Akhirnya itu membuat keuangan negara terjerat defisit. Oktober lalu, neraca perdagangan defisit US$ 1,8 miliar. Sementara neraca transaksi berjalan defisit US$ 8,8 miliar pada kuartal III-2018. Untuk menutup defisit, pemerintah pun menjual surat utang, termasuk ke investor asing.

Per 3 Desember lalu dana asing di SBN mencapai Rp 1061,89 triliun atau 44,74% dari total SBN. Di bursa saham, porsi asing per akhir Oktober lalu mencapai 47%.

Besarnya dana asing di portofolio itu bersifat panas, lantaran bisa masuk dan keluar kapan saja. Dus, ini membuat rupiah sangat sensitif terhadap isu-isu eksternal.

Seperti terjadi belakangan, rupiah lebih banyak digerakkan isu suku bunga AS dan perang dagang. Saat The Fed memberi sinyal bunganya akan naik, rupiah anjlok ke Rp 15.000. Sebaliknya, begitu The Fed memberi sinyal menahan kenaikan bunga, rupiah langsung menguat.

Faktor eksternal tentu sulit dicegah, terlebih ketika AS memiliki presiden seperti Trump, yang gemar menebar kontroversi. Karena itu, alih-alih sibuk mempolitisasi pergerakan rupiah, lebih baik semua pihak fokus dan saling membahu membenahi akar persoalan agar rupiah memiliki otot yang lebih kuat menghadapi gejolak isu eksternal.

Ingat, gejolak rupiah akan merugikan kita semua, siapa pun capres pilihan kita.•

Mesti Sinaga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi