"Bisa enggak sih, pilpres dipercepat saja?!" Ujaran macam ini semakin sering terdengar. Orang mulai muak dengan cekcok seputar dukung mendukung calon presiden, yang nyaris terjadi di mana saja. Kini, hampir semua hal dipolitisasi, termasuk naik turunnya kurs rupiah. Saat rupiah anjlok ke Rp 15.250 per dollar AS Oktober lalu, haters nyinyir, seolah pelemahan rupiah semuanya salah pemerintahan Jokowi. Sebaliknya, saat rupiah kini menguat ke kisaran Rp Rp 14.500, bahkan sempat Rp 14.250 (3/12), giliran lovers Jokowi nyinyir dan mengklaim seolah-olah penguatan rupiah semata kehebatan pemerintahan Jokowi. Tentu, ada andil pemerintah dalam penguatan maupun pelemahan rupiah. Tapi, politisasi mengaburkan persoalan, yang pada akhirnya membuat kita tidak benar-benar membenahi akar masalah.
Politisasi rupiah
"Bisa enggak sih, pilpres dipercepat saja?!" Ujaran macam ini semakin sering terdengar. Orang mulai muak dengan cekcok seputar dukung mendukung calon presiden, yang nyaris terjadi di mana saja. Kini, hampir semua hal dipolitisasi, termasuk naik turunnya kurs rupiah. Saat rupiah anjlok ke Rp 15.250 per dollar AS Oktober lalu, haters nyinyir, seolah pelemahan rupiah semuanya salah pemerintahan Jokowi. Sebaliknya, saat rupiah kini menguat ke kisaran Rp Rp 14.500, bahkan sempat Rp 14.250 (3/12), giliran lovers Jokowi nyinyir dan mengklaim seolah-olah penguatan rupiah semata kehebatan pemerintahan Jokowi. Tentu, ada andil pemerintah dalam penguatan maupun pelemahan rupiah. Tapi, politisasi mengaburkan persoalan, yang pada akhirnya membuat kita tidak benar-benar membenahi akar masalah.